Suku Tengger dijadwalkan melangsungkan upacara adat Yadnya Kasada. Upacara tersebut digelar setiap tanggal 15 bulan Kasada dari penanggalan Tengger.
Pada 2024, Upacara Yadnya Kasada jatuh pada Jumat - Sabtu, 21-22 Juni 2024. Selama upacara berlangsung, kawasan wisata Bromo akan ditutup untuk umum dan hanya terbuka bagi masyarakat yang hendak melaksanakan Yadnya Kasada.
Selain Yadnya Kasada, Suku Tengger juga dikenal dengan berbagai kearifan lokal lainnya yang masih dilestarikan hingga kini. Ingin tahu lebih dalam mengenai suku ini? Yuk, mengenal Suku Tengger melalui uraian berikut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mengenal Suku Tengger
Dihimpun dari detikJatim, sejarah Suku Tengger bermula dari sebuah legenda yang berkaitan dengan cerita Roro Anteng dan Joko Seger. Nama Tengger diambil dari penggabungan dua nama tersebut, yakni Teng berasal dari Roro Anteng dan Ger merupakan akhiran nama Joko Seger.
Roro Anteng adalah seorang putri dari Kerajaan Majapahit. Sementara, Joko Seger merupakan putra dari Brahmana. Berdasarkan ajaran Hindu, Roro Anteng berkasta Ksatria, sedangkan Joko Seger berkasta Brahmana.
Dalam kata lain, keduanya tidak boleh menikah karena perbedaaan kasta tersebut. Namun, kedua insan itu tetap memutuskan menikah dan memiliki banyak keturunan.
Para keturunan mereka yang kemudian disebut sebagai Suku Tengger. Secara tidak langsung, masyarakat Suku Tengger berasal dari Kerajaan Majapahit.
Meski begitu, ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa eksistensi Suku Tengger telah ada jauh sebelum Majapahit berdiri. Ini dibuktikan dengan adanya Prasasti Pananjakan yang tertulis pada tahun 1350-1389 dan diresmikan pada zaman Raja Hayam Wuruk.
Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa Suku Tengger sudah ada sejak zaman Raja Hayam Wuruk. Sebab, Prasasti Pananjakan Satu mengungkapkan, masyarakat Tengger ialah yang mampu mempertahankan budaya Tengger.
Populasi Suku Tengger
Meski jumlahnya sedikit, warga Tengger bukanlah suku primitif, suku terasing, atau suku lain yang berbeda dari Suku Jawa. Populasi mereka diketahui berjumlah sekitar 100.000 dari jumlah penduduk Jawa yang kurang lebih 100 juta seperti dilansir dari Repositori Kemdikbud berjudul Sekilas tentang Masyarakat Tengger yang ditulis Ayu Sutarto.
Suku Tengger bertempat tinggal di sekitar Gunung Bromo Semeru. Gunung ini diketahui menjadi simpul bertemunya batas Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Kabupaten Probolinggo dan Malang. Sehingga, masyarakat Tengger umumnya bermukim di keempat kabupaten tersebut.
Di tengah gempuran modernisasi, terdapat desa-desa berlokasi di empat kabupaten yang penduduknya masih memegang teguh adat-istiadat Tengger. Mayoritas pemukimnya memeluk agama Hindu.
Desa-desa tersebut antara lain Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari (Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo), Ledokombo, Pandansari, dan Wonokerso (Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo), Tosari, Wonokitri, Sedaeng, Ngadiwono, Podokoyo (Kecamatan Tosari, Kabupaten Pasuruan), Keduwung (Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan), Ngadas (Kecamatan Poncokusumo, Kabupaten Malang), serta Argosari dan Ranu Pani (Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang).
Upacara Adat Suku Tengger
Suku Tengger terkenal dengan upacara adat yang beragam. Terdapat beberapa upacara adat yang masih diselenggarakan di wilayah Tengger hingga sekarang sebagaimana berikut ini.
1. Upacara Kasada
Upacara Kasada atau Yadnya Kasada merupakan hari raya kurban bagi orang Tengger. Upacara ini diselenggarakan pada tanggal 14, 15, atau 16 bulan Kasada untuk memperingati Raden Kusuma, putra bungsu Rara Anteng dan Joko Seger dalam merelakan dirinya menjadi kurban demi kesejahteraan keluarga.
2. Upacara Karo
Selaras dengan namanya, upacara ini dilaksanakan pada bulan Karo. Penyelenggaraannya serupa dengan Idul Fitri, yakni saling berkunjung ke rumah sanak saudara untuk bermaaf-maafan.
3. Upacara Unan-unan
Upacara Unan-unan bertujuan untuk membersihkan desa dari makhluk halus dan menyucikan para arwah. Upacara ini dilaksanakan sekali dalam sewindu.
Perlu diketahui, sewindu dalam penanggalan Tengger bukanlah 8 tahun, melainkan 5 tahun.
4. Upacara Entas-entas
Upacara Entas-entas dimasudkan untuk menyucikan roh orang yang telah meninggal pada hari ke-1000. Dengan begitu, roh tersebut dapat masuk surga.
5. Upacara Pujan Mubeng
Upacara yang dilaksanakan pada bulan kesembilan kalender Tengger ini dilakukan dengan berkeliling desa bersama dukun yang memukul ketipung.
Upacara Pujan Mubeng bertujuan untuk membersihkan desa dari gangguan dan bencana.
6. Upacara Kelahiran
Upacara Kelahiran berkaitan dengan lahirnya seorang bayi dengan enam macam upacara yang berkait.
Rangkaiannya dimulai dari Upacara Sesayut, Upacara Sekul Brokohan, Upacara Cuplak Puser, Selamatan Jenang Abang dan Jenang Putih, Upacara Kekerik, dan Among-Among.
7. Upacara Tugel Kancung
Upacara ini diselenggarakan ketika seorang anak menginjak usia 4 tahun. Para orang tua berharap sang anak mendapat keselamatan dari Hyang Widhi Wasa dengan memotong rambut bagian depan.
8. Upacara Perkawinan
Mirip dengan Suku Jawa, acara pernikahan masyarakat Tengger harus melalui perhitungan waktu yang ditentukan oleh dukun. Perhitungan tersebut harus sesuai dengan saptawara dan pancawara kedua calon pengantin.
Selain itu, ada pula perhitungan berdasarkan sandang (pakaian), pangan (makanan), lara (sakit), dan pati (kematian).
9. Upacara Kematian
Upacara kematian diselenggarakan secara gotong royong. Para tetangga membantu perlengkapan sebagai keperluan upacara penguburan.
Bantuan yang disebut nglawuh berupa tenaga, uang, beras, kain kafan, gula, dan lain-lain.
10. Upacara Barikan
Upacara ini biasanya dilaksanakan ketika usai terjadi suatu bencana alam atau peristiwa yang memengaruhi kehidupan masyarakat Tengger.
Upacara Barikan dilakukan untuk berharap keselamatan dan menolak bahaya (tolak sengkala).
11. Upacara Liliwet
Upacara yang bertujuan demi kesejahteraan keluarga ini diadakan di setiap rumah penduduk. Seorang dukun nantinya memberi mantra di setiap sudut rumah agar terhindar dari malapetaka.
Bagian rumah yang diberi mantra meliputi dapur, pintu, tamping, sigiran, dan empat penjuru pekarangan.
Artikel ini ditulis oleh Alifia Kamila, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(irb/fat)