Di tengah megahnya lanskap pegunungan Bromo-Semeru, terdapat sebuah komunitas adat yang masih menjaga tradisi leluhur dengan kuat, yaitu Suku Tengger. Berdiam di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut, masyarakat Tengger hidup berdampingan dengan alam dalam harmoni yang telah terjalin selama berabad-abad.
Keunikan masyarakat adat Suku Tengger tak hanya terletak pada adat dan budaya yang tetap lestari di tengah arus modernisasi, tetapi juga pada kepercayaan mereka yang masih memegang teguh ajaran Hindu, sebuah peninggalan dari era Kerajaan Majapahit.
Di lereng-lereng pegunungan yang diselimuti kabut, Suku Tengger menjalani kehidupan dengan kesederhanaan. Pertanian menjadi mata pencaharian utama, dengan hasil bumi seperti kentang, kubis, dan bawang putih yang tumbuh subur di tanah vulkanik yang kaya akan mineral.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Mengenal Upacara 'Pati Geni' Suku Tengger |
Selain itu, masyarakatnya dikenal memiliki sikap ramah dan menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual, yang tercermin dalam berbagai ritual adat, termasuk upacara Yadnya Kasada, sebuah persembahan suci kepada Sang Hyang Widhi di Kawah Bromo.
Keberadaan Suku Tengger di tengah kawasan konservasi Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) menjadikan mereka sebagai bagian tak terpisahkan dari ekosistem alam dan wisata di kawasan tersebut.
Di balik eksotisme pemandangan Bromo yang kerap dikunjungi wisatawan dari berbagai penjuru dunia, tersembunyi kisah sejarah panjang dan tradisi yang terus bertahan di tengah derasnya perubahan zaman. Lantas, bagaimana asal-usul Suku Tengger, dan apa saja nilai budaya yang masih mereka pertahankan hingga kini?
Mengenal Suku Tengger
Sejarah Suku Tengger berawal dari legenda yang berkaitan erat dengan kisah Roro Anteng dan Joko Seger. Nama "Tengger" sendiri merupakan gabungan dari dua nama tersebut, di mana "Teng" diambil dari Roro Anteng, sementara "Ger" berasal dari Joko Seger.
Roro Anteng dikenal sebagai seorang putri dari Kerajaan Majapahit, sedangkan Joko Seger adalah putra dari seorang brahmana. Dalam ajaran Hindu, Roro Anteng yang berasal dari kasta Ksatria seharusnya tidak diperbolehkan menikah dengan Joko Seger yang berkasta Brahmana.
Namun, meski aturan kasta memisahkan mereka, keduanya tetap memilih untuk bersatu dalam ikatan pernikahan dan memiliki banyak keturunan. Dari keturunan inilah kemudian lahir masyarakat Suku Tengger yang hingga kini masih mendiami kawasan pegunungan Bromo-Semeru.
Hal ini menunjukkan bahwa secara garis keturunan, masyarakat Suku Tengger memiliki keterkaitan erat dengan Kerajaan Majapahit. Namun, ada pendapat lain yang menyatakan bahwa keberadaan Suku Tengger telah ada jauh sebelum masa kejayaan Majapahit.
Pendapat ini didasarkan temuan Prasasti Pananjakan yang diperkirakan berasal dari tahun 1350-1389 Masehi, atau pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk. Prasasti tersebut memberikan petunjuk bahwa masyarakat Tengger sudah hidup dan mempertahankan budayanya jauh sebelum Majapahit berdiri kokoh sebagai kerajaan besar di Nusantara.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa eksistensi Suku Tengger sudah ada sejak masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk, dan mereka terus menjaga budaya serta adat istiadat yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Meskipun populasinya tidak sebesar suku lain di Pulau Jawa, masyarakat Tengger bukanlah suku primitif atau suku terasing yang berbeda dari Suku Jawa pada umumnya. Menurut data dari Repositori Kemdikbud dalam tulisan Sekilas tentang Masyarakat Tengger yang ditulis Ayu Sutarto, jumlah populasi Suku Tengger diperkirakan mencapai 100.000 jiwa.
Jumlah ini tentu jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan total populasi masyarakat Jawa yang mencapai sekitar 100 juta jiwa. Masyarakat Tengger umumnya bermukim di kawasan sekitar Gunung Bromo dan Semeru, yang menjadi titik pertemuan batas wilayah empat kabupaten, yakni Pasuruan, Probolinggo, Malang, dan Lumajang.
Meskipun modernisasi semakin pesat, di beberapa desa yang berada di keempat kabupaten tersebut, masyarakat Tengger masih teguh mempertahankan adat dan budaya leluhur mereka. Mayoritas penduduknya juga tetap setia memeluk agama Hindu, seperti yang dianut nenek moyang mereka sejak zaman Majapahit.
Beberapa desa yang masih menjadi pusat kehidupan masyarakat Tengger antara lain Ngadas, Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, dan Ngadisari yang berada di Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo. Selain itu, ada pula Ledokombo, Pandansari, dan Wonokerso yang terletak di Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo.
Di Kabupaten Pasuruan, masyarakat Tengger banyak bermukim di desa-desa seperti Tosari, Wonokitri, Sedaeng, Ngadiwono, dan Podokoyo yang berada di Kecamatan Tosari, serta di Desa Keduwung yang terletak di Kecamatan Puspo.
Sementara itu, di Kabupaten Malang, mereka umumnya tinggal di Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo. Sedangkan di Kabupaten Lumajang, pemukiman Suku Tengger dapat ditemukan di Desa Argosari dan Ranu Pani, yang masuk dalam wilayah Kecamatan Senduro.
Dengan keberadaan mereka yang masih bertahan di tengah derasnya arus modernisasi, Suku Tengger menjadi salah satu contoh masyarakat adat yang mampu menjaga identitas budaya dan kepercayaan mereka, menjadikannya warisan berharga bagi sejarah dan kebudayaan Nusantara.
Baca juga: Mengenal Upacara Karo Suku Tengger |
Upacara Adat Suku Tengger
Suku Tengger dikenal sebagai masyarakat yang masih menjaga tradisi leluhur mereka dengan teguh. Berbagai upacara adat masih terus diselenggarakan hingga kini, mencerminkan kepercayaan dan nilai-nilai spiritual yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Berikut beberapa upacara adat yang masih lestari di kalangan masyarakat Tengger.
1. Upacara Kasada
Upacara Kasada, atau yang juga disebut Yadnya Kasada, merupakan salah satu ritual terpenting bagi masyarakat Tengger. Upacara ini digelar pada tanggal 14, 15, atau 16 bulan Kasada dalam penanggalan Tengger.
Kasada adalah hari raya kurban yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada Raden Kusuma, putra bungsu Roro Anteng dan Joko Seger, yang rela mengorbankan dirinya demi kesejahteraan keluarganya. Prosesi ini berlangsung di Kawah Gunung Bromo, di mana masyarakat melemparkan hasil bumi sebagai persembahan kepada Sang Hyang Widhi.
2. Upacara Karo
Upacara Karo adalah perayaan yang dilaksanakan pada bulan Karo dalam kalender Tengger. Upacara ini memiliki kemiripan dengan Idul Fitri dalam tradisi Islam, karena masyarakat saling berkunjung ke rumah sanak saudara untuk bermaaf-maafan dan mempererat tali persaudaraan.
3. Upacara Unan-unan
Unan-unan adalah upacara penyucian desa yang bertujuan untuk mengusir makhluk halus dan membersihkan roh-roh jahat yang dapat membawa malapetaka. Upacara ini diselenggarakan sekali dalam sewindu, di mana dalam sistem penanggalan Tengger, sewindu bukanlah delapan tahun seperti dalam kalender Masehi, melainkan hanya lima tahun.
4. Upacara Entas-entas
Upacara Entas-entas merupakan ritual penyucian roh seseorang yang telah meninggal dunia. Upacara ini dilakukan pada hari ke-1000 setelah kematian, dengan harapan agar roh yang bersangkutan dapat mencapai kesucian dan diterima di alam surga.
5. Upacara Pujan Mubeng
Upacara Pujan Mubeng digelar pada bulan kesembilan dalam kalender Tengger. Dalam ritual ini, dukun adat memimpin masyarakat berkeliling desa sambil menabuh ketipung (alat musik tradisional). Upacara ini memiliki tujuan utama untuk melindungi desa dari bencana dan gangguan yang dapat mengancam ketentraman warga.
6. Upacara Kelahiran
Upacara kelahiran dalam masyarakat Tengger terdiri dari enam tahapan yang berkaitan erat satu sama lain. Tahapan upacara kelahiran dalam masyarakat Suku Tengger tersebut meliputi sebagai berikut.
- Upacara sesayut (ritual awal sebagai tanda syukur atas kelahiran bayi)
- Upacara sekul brokohan (penyambutan bayi ke dunia dengan doa dan jamuan nasi)
- Upacara cuplak puser (penanggalan tali pusar bayi)
- Selamatan jenang abang dan jenang putih (syukuran dengan hidangan khas jenang merah dan putih)
- Upacara kekerik (pencukuran rambut bayi)
- Among-among (upacara pemberian nama dan doa keselamatan bagi bayi)
7. Upacara Tugel Kancung
Upacara ini diselenggarakan ketika seorang anak memasuki usia empat tahun. Dalam upacara ini, rambut bagian depan anak akan dipotong sebagai simbol permohonan perlindungan kepada Hyang Widhi Wasa agar sang anak tumbuh dengan selamat dan sejahtera.
8. Upacara Perkawinan
Dalam tradisi masyarakat Tengger, pernikahan bukanlah sesuatu yang bisa dilaksanakan secara sembarangan. Sebelum menikah, calon pengantin harus melewati proses perhitungan waktu yang dilakukan seorang dukun adat. Perhitungan ini untuk menentukan hari yang paling baik dan membawa keberuntungan bagi kehidupan rumah tangga.
Perhitungan ini didasarkan pada saptawara dan pancawara (sistem penanggalan tradisional), serta mempertimbangkan aspek sandang (pakaian), pangan (makanan), lara (sakit), dan pati (kematian). Hanya setelah semua perhitungan dianggap baik dan sesuai, pernikahan dapat dilaksanakan.
9. Upacara Kematian
Upacara kematian di Suku Tengger dijalankan secara gotong royong. Para tetangga akan turut membantu dalam prosesi pemakaman dengan memberikan bantuan yang disebut nglawuh. Bantuan ini dapat berupa tenaga, uang, beras, kain kafan, gula, dan kebutuhan lain yang diperlukan dalam upacara penguburan.
10. Upacara Barikan
Upacara Barikan biasanya diselenggarakan setelah terjadi suatu peristiwa yang berdampak besar bagi masyarakat, seperti bencana alam atau kejadian yang mengganggu keseimbangan kehidupan warga. Tujuan upacara ini untuk memohon keselamatan dan perlindungan, serta menolak bala (tolak sengkala) agar desa terhindar dari malapetaka.
11. Upacara Liliwet
Upacara ini sebagai bentuk doa bagi kesejahteraan keluarga. Ritual ini diselenggarakan di setiap rumah penduduk, di mana seorang dukun adat memanjatkan mantra pada titik-titik tertentu di rumah, seperti dapur, pintu masuk, tamping (teras), sigiran (sisi rumah), dan empat penjuru pekarangan. Doa ini dipercaya dapat menghindarkan kesialan dan bencana.
Keberagaman upacara adat yang masih dilaksanakan hingga kini menunjukkan betapa kuatnya Suku Tengger dalam menjaga warisan budaya leluhur mereka. Di tengah modernisasi yang terus berkembang, masyarakat Tengger tetap berpegang teguh pada nilai-nilai spiritual yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
(hil/irb)