Masjid Agung Kota Blitar merupakan saksi bisu syiar Islam di wilayah setempat. Masjid ini dibangun pada tahun 1820, namun karena sempat terkena terjangan lahar Gunung Kelud, lokasinya sempat berpindah hingga tiga kali.
Masjid ini dibangun dalam beberapa tahap pembangunan. Tahap pertama pada tahun 1820 ketika itu Kabupaten Blitar masih beribukota di Srengat. Sedangkan penghulunya adalah Kiai Imam Besari.
Saat itu, masjid baru tersebut berdiri di sebelah utara jembatan Kali Lahar di Kelurahan Pekunden. Bangunannya masih sederhana, dindingnya dari kayu jati dan atapnya masih sirap.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun bentuk dan bahannya masih sederhana, masjid tersebut mampu bertahan selama beberapa tahun sebelum diterjang bencana alam. Posisinya yang berada di pinggir sungai aliran lahar, memang membuat masjid tersebut rentan terjangan banjir lahar dingin dari Gunung Kelud.
Tercatat tiga kali lahar dingin menerjang masjid tersebut yaitu pada tahun 1826, 1835 dan 1848. Pada terjangan lahar terakhir, masjid mengalami kerusakan yang cukup parah. Bencana yang disebabkan meletusnya Gunung Kelud tersebut tidak hanya merusak masjid.
Rentannya Srengat akan bencana alam membuat posisi ibukota Blitar dipindah. Karena banjir lahar yang kerap membuat jalannya pemerintahan terganggu dan sempat menghancurkan rumah kediaman bupati.
Maka setelah bencana tahun itu, pusat pemerintahan Blitar, juga masjid agung-nya, dipindahkan ke tempat saat ini. Pemindahan lokasi itu terjadi pada era Bupati Raden Mas Aryo Ronggo Hadinegoro. Sedang penghulu yang merangkap tetua masjid Jami adalah Kiai Raden Kamaludin.
Pembangunan Masjid Agung Blitar pun mulai dilakukan pada Kamis Kliwon 12 Oktober 1890 M atau 20 Muharram 1303 H. Setelah pembangunan, masjid tercatat sempat mengalami renovasi beberapa kali.
Pada 1927 dibuat gapura dan setahun kemudian, 1928, dibangun menara di sebelah kanan (selatan) masjid. Dan pada 1933 masjid diperluas dengan penambahan serambi di kanan dan kirinya yang diarsiteki oleh KH Muchsin Dawuhan.
Desain tersebut masih bertahan hingga kini yang sekarang menjadi bagian dalam masjid. Tetapi gapura dan menaranya telah runtuh akibat gempa bumi yang terjadi di Blitar pada 20 Oktober 1958.
Selanjutnya pada tahun 1967 menara masjid yang rusak karena gempa dibangun. Menara dibangun tidak lagi di tempat semula, tetapi di sebelah utara. Kemudian untuk memperluas daya tampung hingga 5 ribu jemaah.
"Menurut para sesepuh di sini, bangunan dalam yang kayu itu masih asli peninggalan zaman dulu. Pesannya para pendahulu katanya untuk tetep mempertahankan keaslian bangunan, terutama pilar-pilar kayu dan atapnya itu insyaallah masih asli, mungkin warnanya saja yang berubah, diplitur, dicat dan sebagainya," kata Izul, penjaga Kantor Yayasan Masjid Agung.
Hingga kini Masjid Agung kota Blitar ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya. Ini karena masjid menyimpan sejarah peradaban dan syiar Islam di kota dan Kabupaten Blitar.
Bahkan sejumlah kegiatan syiar Islam masih tetap digelar di masjid yang telah berusia 203 tahun itu. Kegiatan tersebut antara lain pengajian kuliah subuh, pengajian Ahad Wage dan Ahad Kliwon.
(abq/iwd)