Masjid Jami Nurul Islam Markoni, Saksi Bisu Pertempuran Belanda-Jepang

Masjid Jami Nurul Islam Markoni, Saksi Bisu Pertempuran Belanda-Jepang

Oktavian Balang - detikKalimantan
Senin, 31 Mar 2025 11:01 WIB
Masjid Jami Nurul Iman Markoni Tarakan.
Masjid Jami Nurul Iman Markoni Tarakan. Foto: Oktavian Balang/detikKalimantan
Tarakan -

Masjid Jami Nurul Islam Markoni, yang terletak di Kelurahan Pamusian, Kecamatan Tarakan Tengah, Kota Tarakan, disebut sebagai masjid tertua di kota ini. Berdirinya sejak tahun 1900.

Menurut Sekretaris Masjid, Sugiartono, masjid ini berdiri bertepatan dengan masa kehadiran Belanda di Tarakan yang kala itu menguasai sumber minyak di wilayah tersebut sebelum Perang Dunia II meletus.

Masjid Jami Nurul Islam Markoni Tempo Dulu

Pada masa itu, Tarakan merupakan wilayah strategis karena kekayaan minyaknya. Belanda, yang telah mengeksploitasi sumber daya tersebut, menjadi target Jepang yang hendak merebut kota ini sebagai persiapan perang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Intel Jepang mendata kekuatan Belanda, dan ternyata tentara Belanda tidak banyak, yang dominan adalah pekerja minyak," ungkapnya.

Jepang kemudian mengerahkan pasukan dalam jumlah besar dan menyerang melalui Pantai Amal, bukan benteng pertahanan darat. Dalam hitungan hari, Jepang berhasil menguasai Tarakan.

Masjid Jami Nurul Iman Markoni Tarakan.Masjid Jami Nurul Iman Markoni Tarakan zaman dulu. Foto: Dok. Masjid Jami Nurul Iman Markoni

Pada masa pertempuran sengit antara Jepang dan Belanda itu, Masjid Jami Nurul Islam Markoni sudah berdiri tegak. Masjid ini menjadi tempat berlindung utama bagi masyarakat Pamusian, bahkan dianggap sebagai lokasi paling aman di tengah kekacauan perang.

"Masjid ini bukan hanya tempat ibadah, tapi juga saksi bisu sejarah," tambah Sugiartono.

Berdasarkan cerita lisan dari generasi terdahulu, masjid ini menjadi pusat ibadah bagi warga dari berbagai wilayah, seperti Kelurahan Selumit (Kecamatan Tarakan Tengah) dan Kelurahan Kampung Enam (Kecamatan Tarakan Timur).

"Dulu, orang datang ke sini rela berjalan kaki," tuturnya.

Masjid Jami Nurul Islam Markoni Masa Kini

Saat ini, masjid yang terletak di pinggir jalan ini tetap ramai dikunjungi jamaah dari berbagai kalangan. Kapasitasnya cukup besar, mampu menampung 900 hingga 1.000 jamaah untuk salat biasa, dengan rincian 1-8 shaf untuk laki-laki dan 2 shaf untuk perempuan. Pada salat Id, jamaah bahkan meluber hingga ke jalanan.

"Ketika Ramadan seperti sekarang, tempat parkir penuh dan sering kali tidak cukup menampung kendaraan," ujar Sugiartono.

Masjid ini aktif menggelar ibadah harian dari Subuh hingga Zuhur. Selama Ramadan, kegiatan bertambah dengan salat Tarawih, tadarus, dan buka puasa bersama. Dana untuk kegiatan ini berasal dari kas masjid serta sumbangan masyarakat. Tokoh masyarakat dan warga sekitar, khususnya dari Kelurahan Pamusian, turut andil dalam proses pembangunan dan pemeliharaan masjid.

"Pintu masjid selalu terbuka lebar, terutama setiap Jumat, bagi siapa saja yang ingin berkontribusi dalam pembangunan," katanya.

Suasana dalam Masjid Jami Nurul Iman Markoni Tarakan.Suasana dalam Masjid Jami Nurul Iman Markoni Tarakan. Foto: Oktavian Balang/detikKalimantan

Meski diakui sebagai masjid tertua berdasarkan cerita lisan, Masjid Jami Nurul Islam Markoni tidak memiliki prasasti atau artefak bersejarah sebagai bukti fisik. Hal ini menjadi kendala ketika masjid ini mengikuti perlombaan masjid tertua dan bersejarah yang diadakan Kementerian Agama Kalimantan Utara enam bulan lalu.

Dalam ajang tersebut, masjid ini meraih juara kedua, kalah dari Masjid Kampung Arab di Tanjung Selor, Kabupaten Bulungan, karena kurangnya bukti tertulis.

"Pendahulu kami tidak memikirkan prasasti sebagai bukti sejarah," ungkap Sugiartono dengan nada prihatin.

Meski tanpa bukti fisik, Masjid Jami Nurul Islam Markoni tetap menjadi simbol keberlanjutan sejarah dan spiritualitas bagi masyarakat Tarakan. Keberadaannya yang telah melampaui satu abad menunjukkan ketahanan dan peran pentingnya di tengah perubahan zaman.

Sugiartono berharap masjid ini terus menjadi tempat ibadah yang inklusif dan mendapatkan dukungan lebih luas untuk pelestarian serta pengembangannya.

"Dari masa perang hingga kini, masjid ini tetap berdiri untuk melayani umat. Semoga ke depan, cerita dan keberadaannya terus dikenang dan didukung oleh generasi mendatang," pungkasnya.




(des/des)
Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads