Tiga pantai di pesisir selatan Blitar serempak menggelar tradisi Larung Saji hari ini. Ritual yang dihelat saat Suro ini budaya adiluhung Jawa sebagai media kontemplasi untuk hidup selaras dengan semesta.
Tiga pantai yang menggelar Larung Saji Suroan itu yakni Pantai Tambakrejo di Kecamatan Wonotirto, Pantai Serang Kecamatan Panggungrejo dan Pantai Jolosutro Kecamatan Wates. Sejak pagi, warga berduyun-duyun datang ketiga pantai itu ingin menyaksikan ritual meriah.
Ada juga beberapa di antara mereka berniat ngalap berkah. Mereka meyakini sesaji yang dilarung jika bisa dibawa pulang akan membawa berkah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam ritual Larung Saji, dua tumpeng besar disiapkan untuk dilarung ke lautan. Berupa tumpeng Lanang dengan simbol buceng lancip yang melambangkan lingga. Dan tumpeng wadon dengan simbol buah-buahan, beragam sayuran dan keleman yang melambangkan yoni.
"Manusia di seluruh dunia ini hadir ke bumi dari bersatunya lingga yoni itu. Dengan adanya tumpeng Lanang wadon itu, sebagai media Kontemplasi untuk mengingatkan manusia hakekatnya sebagai makhluk yang diciptakan Tuhan untuk menghuni alam semesta ini," tutur sesepuh Desa Serang, Raban Yuwono kepada detikJatim, Jumat (21/7/2023).
Dilarungnya sesaji dan tumpeng itu, lanjut Raban, merupakan simbol sedekah manusia kepada alam semesta. Terutama laut sebagai sumber penghidupan mereka selama ini. Sedekah ini mengingatkan manusia agar menjaga keselarasan dan berdamai dengan alam sekitarnya.
Menurut Raban, tradisi Larung Saji ini hanya digelar masyarakat pesisir untuk memperingati penanggalan Tahun Baru Jawa. Untuk tahun ini penanggalan Jawa tepat di tahun 1957 Saka. Sementara bagi umat muslim, momen ini hanya jeda 1 sampai 2 hari untuk memperingati Tahun Baru 1445 Hijriah.
"Jadi ceritanya, dulu pada masa peralihan Mataram Islam, Sultan Agung menghendaki dipakainya tiga penanggalan di Jawa. Yakni Masehi, Hijriah dan Saka atau Aboge. Masing-masing penanggalan ini sampai sekarang tetap dipakai di Indonesia, utamanya dalam kultur Jawa," ungkapnya.
Aboge sendiri, Raban memaparkan dimulai dari weton Rebo Wage. Masyarakat Jawa masih menggunakan penanggalan ini untuk menentukan hari penting menggelar hajat tertentu. Sedangkan penanggalan Hijriah, dimulai dari Asapon kepanjangan weton Selasa Pon.
"Bedanya begini, kalau Aboge perubahan hari itu menurut pergerakan matahari pada siang. Jadi pergantian hari dilihat dari mletek e srengenge. Sementara Asapon atau Hijriah, pergantian hari berdasarkan penampakan bulan. Kalau Masehi berdasarkan pergerakan matahari pada malam. Jadi pergantian hari dimulai malam pukul 00.00 WIB," paparnya.
Dipakainya tiga penanggalan ini di Indonesia, menurut Raban tak lepas dari semboyan Bhinneka Tunggal Ika Tan Hanya Dharma Mangrwa. Artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Tak ada kebenaran bermuka dua. Kultur budaya Jawa yang adiluhung, mampu mempresentasikan dalam ritual yang menjadi tradisi dan tetap lestari.
"Simbolisasi tumpeng Lanang wadon filosofinya seperti semboyan itu. Dalam tubuh kita terdiri suku mata, suku hidung, suku badan, suku tangan dan suku kaki. Namun semuanya menyatu dalam ke-tauhidan. Bahwa hanya satu Tuhan yang menciptakan," pungkasnya.
(dpe/fat)