Dam atau pintu air menjadi infrastruktur vital untuk pertanian sejak zaman dulu kala. Begitu pula dengan Dam Candi Limo di Kecamatan Jatirejo, Kabupaten Mojokerto. Dam yang mempunyai simbol Dewa Kala ini direvitalisasi Belanda tahun 1910 untuk Pabrik Gula Dinoyo.
Secara administratif, Pintu Air Candi Limo terletak di Dusun Jetis, Desa Sumberagung, Kecamatan Jatirejo. Namun, dam ini lebih dekat dengan permukaan penduduk Dusun Jatiombo, Desa Baureno, Kecamatan Jatirejo.
Dam Candi Limo mempunyai arca Dewa Kala atau Batara Kala pada dinding sisi baratnya. Persis di atas arca Dewa Kala terdapat pahatan nama Tjadi Lima dan angka tahun 1910. 
Ya, pintu air bersejarah ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Majapahit, kemudian direvitalisasi kolonial Belanda pada tahun tersebut. Keberadaannya tak lepas dari industri gula di Kabupaten Mojokerto pada masa itu.
"Revitalisasi Dam Candi Limo tahun 1910. Biaya yang dihabiskan berkisar angka 60.000 gulden. Setelah selesai pengerjaannya lalu diresmikan pada tanggal 31 Agustus dengan perayaan meriah," kata Penulis Sejarah Mojokerto, Ayuhanafiq kepada detikJatim, Rabu (22/2/2023).
Pemerintah Kolonial Belanda sempat menerapkan sistem tanam paksa atau Cultuurstelsel tahun 1830-1870. Sistem tersebut digagas Van den Bosch yang kemudian diangkat menjadi Gubernur Hindia Belanda di Jawa oleh Raja Willem.
Pasca Cultuurstelsel, Penjajah Belanda melakukan industrialisasi gula di Jawa untuk diekspor ke berbagai negara. Karena gula menjadi primadona pada masa itu. Agar industrialisasi berjalan, mereka mengundang para investor. Salah satunya Gerard Joachimus (GJ) Eschauzier, taipan asal Belanda.
Perusahaan NV Eschauzier Concern salah satunya melirik Mojokerto untuk bisnis industri gula. Karena kabupaten ini banyak mempunyai sungai yang sangat dibutuhkan untuk pabrik gula. Perusahaan asal Den Haag, Belanda tersebut setidaknya mempunyai 10 pabrik gula di Bumi Majapahit. Salah satunya Suiker Fabriek (SF) atau Pabrik Gula (PG) Dinoyo di Desa Dinoyo, Kecamatan Jatirejo yang berdiri tahun 1882.
"SF Dinoyo yang mampu menghasilkan gula 958 ribu pikul dari lahan seluas 795 bau," terang Ayuhanafiq.
Luas sawah yang ditanami tebu untuk PG Dinoyo pada masa itu sekitar 568 hektare. Karena 1 bau atau bouw sama dengan 7.140 meter persegi. Sedangkan 1 pikul sama dengan 60,479 Kg. Sehingga kapasitas produksi PG Dinoyo kala itu sekitar 57.939 ton gula.
Eschauzier Concern mendapatkan hak konsesi 568 hektare sawah untuk ditanami tebu tidak secara cuma-cuma. Menurut Ayuhanafiq, perusahaan ini harus membangun infrastruktur irigasi. Karena tanaman tebu membutuhkan pengairan yang baik. Sehingga Eschauzier merevitalisasi Dam Tjandi Lima dan Dam Pehngaron di Dusun Pengaron, Desa Mojogeneng, Kecamatan Jatirejo.
"Dam Candi Limo dan Pehngaron sama-sama dibangun PG Dinoyo. Dam Candi Limo di Sungai Landaian, sedangkan Dam Pehngaron di Sungai Pikatan. Kedua sungai itu membentuk Sungai Brangkal yang berujung di Sungai Brantas," jelasnya.
Dam Candi Limo membendung Sungai Landaian agar permukaan airnya tinggi. Selanjutnya air sungai dialirkan ke perkebunan tebu yang pada masa itu dikuasai PG Dinoyo. Yang membuat dam ini unik adalah arca Dewa Kala pada dinding sisi baratnya. Dalam ajaran Hindu, Kala adalah putra Dewa Siwa yang mempunyai wujud seram dengan taring panjang. Batara Kala merupakan dewa penguasa waktu.
"Kala itu kan dewa penjaga waktu. Jelas itu sebagai penghormatan bagi mereka yang dianggap suci yang dimuliakan oleh masyarakat sekitar. Pembangunan dam itu pastinya masyarakat dilibatkan. Mereka juga akan diajak bicara. Mungkin salah satu usulan masyarakat pembuatan kepala Kala itu sebagai lanjutan tradisi yang lama," tandas Ayuhanafiq.
(sun/iwd)