Banyak cerita untuk mengenang sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Tapi tidak semua peristiwa sejarah itu terungkap, karena sedikitnya informasi dan dokumentasi.
Seperti halnya peristiwa penyerangan brutal pasukan udara Belanda kepada tentara pejuang kemerdekaan di Gunung Goong, Desa Cipurwasari, Kecamatan Tegalwaru, Kabupaten Karawang pada tahun 1948.
Di lokasi tersebut kini berdiri sebuah monumen sederhana yang diberi nama Monumen Gempol Ngadeupa, yang berbentuk sembilan makam, dan sebuah patung tentara yang memegang bendera merah putih, di lahan seluas 120 meter persegi, di kaki Gunung Goong.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Abah Piung (120), jadi satu-satunya saksi hidup peristiwa pengeyarangan brutal oleh pasukan Belanda tersebut. Ia saat itu bertugas sebagai ajudan pribadi Komandan Batalyon Engkong Darsono.
"Peristiwa penyerangan itu, saya ada bersama Pak Darsono, sepulang dari Yogyakarta beres tugas dari Madiun. Yang saya ingat penyerangan di Gempol Ngadeupa itu hari Kamis tanggal 11 tahun 1948, nggak tau bulan apa," kata Piung, saat diwawancara detikJabar di kediamannya, Desa Medalsari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang.
Saat itu, kata Piung, Batalyon Engkong Darsono usai menjalankan tugas melawan gerakan Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang dipimpin oleh Musso dan Amir Sjarifudin.
"Pokonya itu pulang dari Madiun lawan pasukan Musso, terus ditarik ke Yogyakarta, setelah beberapa hari di Yogyakarta, kita digeser ke Jakarta, tapi melintasi Gempol Ngadeupa, sebenarnya di Gempol Ngadeupa itu bertahan sekaligus istirahat dalam perjalanan," kata dia.
![]() |
Piung tidak ingat peristiwa Gempol Ngadeupa bulan apa, namun berdasarkan referensi yang diolah detikJabar, peristiwa pemberontakan FDR di Madiun terjadi kisaran bulan September tahun 1948, jika peristiwa Gempol Ngadeupa terjadi hari Kamis tanggal 11 Tahun 1948 seperti yang diceritakan Piung, maka saat itu adalah hari Kamis 11 November 1948.
Diceritakan Piung, total awal pasukan Batalyon Engkong Darsono berjumlah 120 prajurit, namun yang tersisa usai melawan pasukan FDR, hingga pasukan Belanda di Yogyakarta, berjumlah 48 orang, termasuk ia, Engkong Darsono, dan istrinya.
48 Batalyon Engkong Darsono beristirahat beberapa minggu di Gempol Ngadeupa, sampai akhirnya terjadi serangan udara dan darat, terjadi dengan brutal oleh pasukan Belanda. Karena saat itu, kata Piung, senjata yang dimiliki Belanda dan tentara pejuang kemerdekaan sangat tidak imbang.
Detik-detik penyerangan brutal itu, terjadi tepat di depan mata Piung, Engkong Darsono, dan istrinya. Saat itu tiba-tiba langit bising dengan suara tiga pesawat yang terbang rendah diantara tebing-tebing gunung. Ia selamat dari serangan tersebut karena berada cukup jauh dari titik jatuhnya bom.
"Saat itu saya di bawah dekat sumur, sama Pak Darsono sama istrinya, sedangkan pasukan di atas berada di markas (saung peristirahatan), seperti hujan pelor nya (tembakan peluru yang bertubi-tubi dari pesawat) seukuran jempol kaki pelornya," ungkap Piung.
Saat itu, Engkong Darsono memerintahkan pasukannya untuk mundur ke wilayah Ciporong, salah satu area pesawahan di dekat Gunung Goong. Namun ketiga pesawat itu kembali dengan serangan makin brutal.
"Setelah itu mundur ke ciporong, sawah lagi dipanen, berhubung banyak masyarakat lagi panen akhirnya pasukan balik lagi (untuk melindungi masyarakat agar tidak jadi target serangan) pesawat balik lagi ganti pake bom (pasukan dijatuhi bom)," ucapnya.
Engkong Darsono kemudian memandu pasukannya untuk lari ke arah barat, kemudian beristirahat di wilayah Serena, dan Dukut (saat ini wilayah Kecamatan Tanjungsari, Kabupaten Bogor).
"Setelah dibom tempat itu hancur mayat hancur, bau mesiu dimana-mana, sementara kita diperintah Pak Darsono lari ke arah Serena, terus ke Dukut, kita istirahat di sana hampir 2 bulan, nunggu Pak Oking (Mayor Oking)," ujar Piung.
Pak Oking yang dimaksud oleh Piung, merupakan Mayor Raden Oking Jaya Atmaja, seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia juga pejuang kemerdekaan yang menghalau pasukan sekutu, serta aktif dalam penumpasan pemberontakan pasukan FDR/PKI Musso.
Batalyon Engkong Darsono, dengan pasukan yang dipimpin oleh Mayor juga sama-sama melakukan penumpasan FDR yang dipimpin Musso di Madiun.
Berdasarkan literalur yang dibaca detikJabar, lengan Mayor Oking mengalami cedera dalam pertempuran dengan pasukan Musso, hingga lengannya kemudian diamputasi di rumah sakit Solo.
Cerita itu tidak diketahui Piung kala itu. Namun kisah yang disampaikan Piung juga selaras dengan literalur, karena saat itu ia bersama Batalyon Engkong Darsono, kaget melihat kedatangan Mayor Oking dengan kondisi lengan yang sudah diamputasi.
"Kita nunggu Pak Oking di Dukut hampir 2 bulan, pas datang mereka, kita kaget, hanya tinggal 4 orang yang datang, Pak Oking lengannya juga buntung," ungkap Piung.
Kembali kepada kisah Gempol Ngadeupa, Batalyon Engkong Darsono, yang awalnya berjumlah 120 orang dari Madiun, kemudian sisa 48 orang di Yogyakarta.
"Setelah dari Madiun awalnya 120 orang, sisa 48 orang di Yogyakarta, kemudian setelah serangan udara Gempol Ngadeupa, gugur 30 orang, jadi kita bertahan 2 bulan di Dukut pasukan tersisa 18 orang, termasuk saya, Pak Darsono, dan istrinya," kata dia.
Setelah kedatangan Mayor Oking bersama empat orang anggotanya, Batalyon Engkong Darsono kemudian melanjutkan perjalanan ke Jakarta. Karena saat itu, mereka diperintahkan ke Jakarta untuk bersiap ke Irian Barat (saat ini Papua).
"Jadi kita di Dukut sisa 18 orang, ditambah Mayor Oking dan pasukannya sisa 4, jadi 22 orang kita diperintahkan ke Jakarta. Kita rencananya akan dikirim ke Irian Barat," terangnya.
Pasukan Batalyon Engkong Darsono, dan Mayor Oking tiba di Jakarta setelah melakukan perjalanan kurang lebih satu malam. Di sana kemudian cerita Piung sebagai tentara berakhir.
"Kita jalan malam ke Jakarta, sampai di Jakarta kumpul di Lapangan Banteng itu pagi hari semua pasukan bersiap nunggu giliran untuk berangkat ke Irian Barat. Tapi beberapa hari kemudian abah (ayah Piung) datang untuk menebus saya agar bisa pulang," kata Piung.
Dengan tebusan itu, Piung dibebastugaskan dan bisa kembali pulang, serta tidak jadi dikirim ke Irian Barat untuk melawan pasukan Belanda yang masih menguasai Papua saat itu.
"Abah dulu orang kaya jadi nebus saya sekitar beberapa karung padi, supaya saya pulang dan tidak dibawa ke Irian Barat," imbuhnya.
Di situlah pertemuan terakhir Piung dan Engkong Darsono. Sebagai tanda terimakasih dari sang Danyon, Piung juga diberi tanda jasa berupa secarik kertas (piagam penghargaan), serta satu set seragam yang bisa ia gunakan kembali jika sewaktu-waktu ingin kembali jadi tentara.
"Saya diberi tanda jasa sama Pak Darsono, berupa piagam dengan seragam, katanya seragam itu boleh dipake nanti kalau ingin kembali jadi tentara," ungkapnya.
Beberapa hari berlalu setelah kepulangan ia ke kampung halaman, di Desa Medalsari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang, pasukan Belanda datang kembali, dan meluluhlantakan kampungnya.
"Ini juga yang jadi alasan kenapa saya tidak jadi veteran, setelah saya pulang ke kampung, ternyata Belanda kembali datang kemudian nyisir tentara, bahkan satu kampung ini dibakar termasuk rumah saya. Sepulang dari ladang saya melihat rumah tinggal debu. Tanda jasa dan seragam tentara terbakar, sehingga saya tidak punya bukti untuk diakui sebagai veteran," pungkasnya.
Simak Video " Video: Truk Tanah Terguling Timpa Toyota Voxy di Tol Karawang Barat"
[Gambas:Video 20detik]
(mso/mso)