Sejumlah daerah di Jawa Timur (Jatim) kerap dilanda beragam jenis bencana alam. Mulai dari banjir bandang, gempa bumi, hingga tanah longsor. Aneka upaya mitigasi bencana pun telah dilakukan mengingat bahwa Jatim merupakan provinsi yang sering dilanda bencana.
Berdasarkan data dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), selama 2018 ada sebanyak 633 gempa yang terjadi di Jatim. Beberapa di antaranya berpotensi tsunami.
Tidak hanya itu, masih berdasarkan catatan BMKG, tsunami pernah terjadi di Pacitan pada pada Januari 1840 dan Oktober 1859. Kemudian pada 1994 tsunami melanda Banyuwangi usai diguncang gempa bumi berkekuatan 7,8 SR.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada bencana yang disebut terakhir, yakni di Banyuwangi, korban tewas akibat tsunami termasuk cukup besar. Sesuai degan data BMKG, ada sebanyak 223 korban jiwa melayang akibat bencana itu.
Secara akumulatif data BMKG menunjukkan bahwa Jatim pernah dilanda 6 kali tsunami. Berangkat dari hal itulah, Direktur Yayasan Skala Indonesia Trinirmala Ningrum terdorong untuk mengadakan bincang bencana Road to Ekspedisi JawaDwipa.
Dalam kegiatan ini Tri berupaya memperkaya pengetahuan para tim Ekspedisi JawaDwipa dan masyarakat secara umum perihal sejarah, mitigasi, dan publikasi kebencanaan secara masif.
Menurutnya, tujuan kegiatan ini adalah untuk meningkatkan ilmu pengetahuan masyarakat terhadap ancaman bencana alam, terutama gempa bumi dan tsunami yang kerap terjadi di Jatim.
Dalam penerapannya, ia dan tim akan mendokumentasikan dan mengarsipkan pengetahuan lokal mengenai bencana serta budaya lokal sebagai pembelajaran dalam menghadapi bencana dan sarana edukasi. Termasuk untuk tata kelola sumber daya alam berbasis kearifan lokal sebagai rekomendasi strategis untuk mitigasi bencana.
"Catatan sejarah membuktikan bahwa masyarakat di masa lalu punya mekanisme untuk meminimalisir risiko-risiko bencana dan antisipasinya. Minggu (12/11) nanti kami ke Jatim, lalu bergabung bersama sejumlah instansi terkait," ujar Tri dalam bincang bencana road to Ekspedisi JawaDwipa via Zoom, diikuti detikJatim, Sabtu (11/10/2022).
Wanita yang juga menjabat Ketua Ekspedisi JawaDwipa itu menjelaskan bahwa catatan sejarah, terutama kajian dan keilmuan dengan latar belakang antropologi atau sejarah bisa merekonstruksi masa lalu untuk masa depan.
Artinya, hasil kajian itu akan menjadi catatan untuk perencanaan pembangunan dan mitigasi dalam mengantisipasi terjadinya bencana alam.
Tri mengisahkan pada saat menggelar Ekspedisi Batavia beberapa tahun lalu ditemukan bahwa ada gempa pada abad ke 16 dan 18 yang merusak hampir seluruh gedung-gedung megah nan bersejarah di Batavia (saat ini menjadi DKI Jakarta). Di antaranya Observatium Mohr dan petak Sembilan.
Setelah gempa, salah satunya logistik pemerintah Belanda saat itu adalah membangun gedung dengan retroviting. Menurutnya, pemerintah era kolonial kala itu lantas mengacu pada pembangunan infrastruktur yang benar-benar menyesuaikan dengan kondisi alam dan kontur tanah yang ada.
"Lalu mereka membangun gedung, ada segitiga-segitiga untuk penyokong bangunan saat terjadi gempa. Nah, nanti hal itu juga yang akan kami terapkan di daerah yang akan kami kunjungi dan riset. Mulai dari Tuban, Pacitan, Surabaya, sampai Blitar. Karena semua pernah terdampak gempa," katanya.
Ia berharap hasil perbincangan keilmuan terkait bencana alam dan mitigasinya bisa diterapkan ke beragam lembaga. Selain itu juga disebarkan ke masyarakat dengan beragam bentuk, baik dalam buku, media sosial, hingga video sekali pun.
"Persiapan teman-teman sudah melewati beberapa kali pelatihan, ada 3 hari berturut-turut melakukan bimbingan teknis, di antaranya melakukan dokumentasi agar hasil riset di foto dan video dalam buku atau film bisa terekonstruksi melalui dokumentasi. Hasil riset akan ditulis ulang dengan bahasa yang lebih populer agar orang bisa mengikuti," katanya.
Perlunya mempelajari mitigasi bencana dari masa lalu. Baca di halaman selanjutnya.
Hal senada disampaikan Ahli Sejarah Universitas Negeri Malang, Rakai Hino. Menurutnya, mitigasi dan antisipasi bencana alam saat ini bisa dipelajari pada sejarah serta peradaban zaman kerajaan dulu.
Rakai menuturkan bahwa banjir dan tsunami sudah ada dan kerap diprediksi kebencanaannya sebagaimana termuat dalam prasasti arsitektural di masa Jawa kuno. Menurutnya, salah satu penyebab gempa bumi dan banjir zaman dulu bisa diketahui dari tinjauan stratigrafi, di antaranya menentukan massa.
"Contohnya, di wilayah Blitar ada Candi Salontar 1 dan 2 di kisaran tahun 2007, dapat diketahui padahal bangunan situsnya relatif kecil dan tak sampai 2 meter, tapi bisa ambruk nan pecah. Selain kena lahar, juga pasti kena guncangan gempa. Nah, itu bisa kita telusuri lewat lapisan tanah seperti vulkanik dan sebagainya. Ada indikasi-indikasi dari arsitektural," katanya.
Pria yang juga tergabung dalam Tim Ahli Sejarah Kota Malang itu menegaskan bahwa dalam membaca mitigasi bencana beserta sejarahnya dirinya menggunakan kamus khusus era Nagara Kertagama ketika masih di bawah pimpinan Hayam Wuruk.
Salah satu caranya dengan menghayati 3 penyebutan gempa, yakni 'lindu', 'guntur', dan 'kampa'. Menurutnya, istilah gempa pada zaman dahulu tersirat dan tersurat dalam sebuah candi. Terutama, pada relief-relief dan artefak.
"Dulu, candi atau bangunan suci yang ambruk dan berantakan ketika Hayam Wuruk melakukan kunjungan diduga akibat gempa karena masa-masa itu raja Hayam Wuruk sebagai raja yang gemilang prestasinya dan tidak ada serangan dari mana-mana. Artinya, diperkirakan kuat candi yang rusak bukan karena serangan, tetapi karena gempa," ujar dia.
Oleh karena itu, potensi terjadinya bencana alam kala itu tidak hanya gempa. Bahkan, hal itu juga menjadikan indikasi awal bahwa dalam perjalanannya Hayam Wuruk juga mempelajari, memperdalam, dan menerapkan ilmu mitigasi dalam menghadapi bencana alam.
Raja Hayam Wuruk terdorong untuk mempelajari itu karena setiap kali bencana alam terjadi dirinya harus membangun ulang sejumlah candi yang ambruk. Bahkan, ia dan para pasukannya mendatangi satu persatu juru kunci untuk memantau gejala-gejala alam di lokasi sekitar di Negara Kertagama.
"Mojosari dan Ngoro, ada wilayah namanya Japan, di situ diduga pernah dikunjungi Hayam Wuruk usai terjadinya lindu atau gempa," tutur dia.