Kiai Muhammad Moenasir Ali terlibat dalam berbagai pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Komandan Batalyon Condromowo itu dikenal ahli perang gerilya.
Tidak hanya itu, perjuangannya di panggung politik nasional juga patut diteladani. Meski ia telah tiada, sejumlah peninggalannya di Mojokerto masih bisa ditelusuri.
Yayasan Dahlan As Syafi'i menjadi salah satu peninggalan Kiai Moenasir. Lembaga pendidikan di Dusun/Desa Pekukuhan, Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto ini awalnya pondok kecil yang didirikan KH Achmad Dahlan As Syafi'i, mertua Moenasir. Seiring berjalannya waktu, santri yang menimba ilmu di tempat ini semakin banyak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Berdirinya sejak tahun 1926 bersamaan dengan berdirinya NU. Dulu namanya masih MI Wajib Belajar karena waktu itu banyak anak yang tidak mau belajar," kata Keponakan Kiai Moenasir, Muhammad Habibullah saat berbincang dengan detikJatim di rumahnya, Jalan Raya Desa Pekukuhan, Kamis (3/11/2022).
Kiai Moenasir lantas memformalkan lembaga pendidikan tersebut tahun 1983. Yaitu dengan mendirikan Yayasan Dahlan As Syafi'i.
Kini yayasan tersebut mempunyai sekitar 700 anak didik mulai dari jenjang PAUD, Madrasah Ibtidaiyah (MI), SMP Islam, sampai SMA Islam. Selain itu, yayasan ini juga mempunyai panti asuhan yatim piatu.
"Bisa dibilang lembaga pendidikan ini warisan dari Kiai Moenasir. Karena beliau yang mendirikan yayasan," terang Habibullah yang kini menjabat Sekretaris Yayasan Dahlan As Syafi'i.
Di lembaga pendidikan ini pula terdapat Wisma Condromowo. Bangunan aula tersebut sengaja diambil dari nama Batalyon Condromowo, yang dipimpin Kiai Moenasir ketika berperang untuk mempertahankan kemerdekaan RI.
Ulama yang lahir di Desa Modopuro, Kecamatan Mojosari pada 2 Maret 1919 itu pensiun dini dari militer tahun 1953. Pangkat terakhirnya adalah mayor.
"Wisma Condromowo ini untuk mengenang jasa-jasa Kiai Moenasir. Sekarang dipakai rapat-rapat pengurus yayasan dan kegiatan anak-anak NU," ujar Habibullah.
Sebuah rumah tua di sebelah timur Wisma Condromowo juga menyimpan kisah tentang perjuangan Kiai Moenasir. Rumah warisan KH Achmad Dahlan As Syafi'i ini menjadi saksi bisu penumpasan pemberontakan PKI.
Menurut Habibullah, di rumah inilah Kiai Hasyim Latief mengeksekusi anggota PKI yang sakti karena mempunyai ilmu kebal.
Kiai Latief merupakan anak buah Kiai Moenasir di Batalyon Condromowo. Kala itu ia menjabat Komandan Kompi I batalyon dengan pangkat Kapten. Beliau pendiri Yayasan Pendidikan Ma'arif (YPM) di Wonocolo, Sepanjang, Sidoarjo.
"Semua PKI yang kebal bacok, ditembak tidak mempan dari berbagai daerah di Jatim, dibawa ke sini. Yang bagian eksekusi Kiai Hasyim Latief, tidak ada yang bisa membunuh PKI sakti kalau bukan beliau. Rumah tempat membunuh PKI sakti masih ada, anak-anak kecil kalau lewat situ malam pasti lari," jelasnya.
Kiai Moenasir menghabiskan masa tuanya di rumah tersebut setelah berkiprah di panggung politik nasional. Ia wafat 11 Januari 2002 di usia 83 tahun.
Jenazahnya dimakamkan di makam keluarga yang berada di Baitul Moenasir. Almarhum meninggalkan 14 anak dari pernikahan dengan Muslichah dan Waki'ah.
"Beliau sakit karena tua, lemah dan tidak sadarkan diri. Sempat dibawa ke RS Gatoel, kemudian pindah ke RS AD Jakarta. Tiga hari kemudian beliau wafat," ungkapnya.
Di mata Habibullah, Kiai Moenasir merupakan pribadi yang penyabar, tapi tegas. Salah satu wasiat yang ia terima dari mendiang pamannya itu terkait kebebasan mengikuti NU atau Muhammadiyah. Namun, ia diminta totalitas jika berkecimpung di salah satu ormas Islam tersebut.
"Wasiat beliau tidak masalah ikut NU atau Muhammadiyah. Yang penting anak-anaknya berbuat baik di dunia, baik di NU maupun Muhammadiyah, tapi tidak boleh menjadi pinggiran, harus menjadi tokoh," terangnya.
Dalam bukunya berjudul Biografi Kiai Mojokerto, Isno Woeng Sayun menyebut Batalyon Moenasir bertugas mengamankan Jombang dari pemberontakan PKI tahun 1948.
"Ketika PKI memberontak di Madiun, Batalyon Moenasir bertugas mengamankan Jombang dan berhasil dengan cepat mengamankan gembong-gembong PKI. Sehingga tidak sampai melakukan aksi yang akan membuat kerugian bagi teritorial Republik Indonesia," jelasnya.
Ketua PC Lembaga Ta'lif wan Nasyr (LTN) NU Kabupaten Mojokerto itu menambahkan, mulai tahun 1982, Kiai Moenasir memutuskan pulang kampung ke Desa Pekukuhan. Setahun kemudian ia mendirikan Yayasan Pendidikan Islam Dahlan As Syafi'i bersama beberapa tokoh setempat.
"Meskipun beliau fokus mengembangkan lembaga pendidikannya, tanggung jawab menjadi anggota DPR dan pengurus PBNU terus dilanjutkan. Walaupun harus bolak-balik Mojokerto-Jakarta," pungkas Isno.
Simak Video "Video: KPAI Terima 973 Aduan Kekerasan Anak pada Januari-Juli 2025"
[Gambas:Video 20detik]
(sun/iwd)