Kisah Aji Saka yang Perkenalkan Aksara Jawa Baru

Kisah Aji Saka yang Perkenalkan Aksara Jawa Baru

Muhammad Aminudin - detikJatim
Rabu, 21 Sep 2022 15:01 WIB
hanacaraka
Aksara Jawa/ Foto: Istimewa/ Dok. Dwi Cahyono
Malang -

Masyarakat Jawa pasti sudah tak asing dengan aksara Jawa. Namun, tahukah Anda tentang sosok yang mengenalkan aksara Jawa? berikut penjelasannya.

Sosok yang mengenalkan aksara Jawa diceritakan pada kisah Aji Saka. Dalam kisah tersebut, Aji Saka dianggap sebagai sosok yang pertama kali mengenalkan aksara Jawa.

Kisah Aji Saka

Kisah Aji Saka dicantumkan dalam situs BPPD Kabupaten Boyolali. Diceritakan bahwa Aji Saka adalah seorang pendekar sakti asal Dusun Medang Kawit, Desa Majethi, Jawa Tengah. Ia juga mempunyai sebuah keris pusaka dan serban sakti.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain sakti, Aji Saka juga rajin dan baik hati. Ia senantiasa membantu ayahnya bekerja di ladang, dan menolong orang-orang yang membutuhkan. Ke mana pun pergi, ia selalu ditemani oleh dua orang abdinya, yakni Dora dan Sembada.

Suatu hari, Aji Saka menunjuk Dora untuk menemaninya mengembara menuju Kerajaan Medhangkamulan. Sedangkan Sembada, disuruh tetap tinggal di Pulau Majethi.

ADVERTISEMENT

Aji Saka menitipkan pusaka andalannya untuk dijaga oleh Sembada. Dia berpesan supaya jangan menyerahkan pusaka itu kepada siapa pun, kecuali pada Aji Saka sendiri.

Aji Saka dan Dora tiba di kerajaan Medhangkamulan. Mereka ingin menolong masyarakat karena raja Medhangkamulan yakni Dewatacengkar gemar makan daging manusia.

Kisah Aji SakaIlustrasi kisah Aji Saka/Foto: Istimewa/ BPPD Boyolali

Aji Saka menyusun siasat agar ia dijadikan santapan oleh sang raja, asalkan diberi tanah seluas ikat kepala dan yang mengukur tanah itu harus Dewatacengkar. Kemudian saat Dewatacengkar mengukur tanah, tiba-tiba ikat kepala Dewatacengkar berubah menjadi keras dan tebal seperti lempengan besi dan terus meluas sehingga mendorong Dewatacengkar.

Dewatacengkar terus terdorong hingga jurang pantai laut selatan. Dia terlempar ke laut dan seketika berubah menjadi seekor buaya putih. Aji Saka kemudian dinobatkan menjadi raja Medhangkamulan.

Setelah penobatan, Aji Saka mengutus Dora pergi ke Pulau Majethi untuk mengambil pusaka andalannya. Sampai di pulau Majethi, Dora menemui Sembada untuk mengambil pusaka. Sembada teringat pesan Aji Saka untuk tidak menyerahkan pusaka tersebut kepada siapa pun kecuali kepada Aji Saka.

Kedua abdi setia tersebut beradu mulut bersikukuh pada pendapatnya masing-masing. Dan akhirnya mereka berdua bertempur. Sampai pada titik akhir, kedua abdi tersebut tewas dalam pertarungan karena sama-sama sakti.

Berita tewasnya Dora dan Sembada sampai ke Aji saka. Dia sangat menyesal atas kesalahannya yang membuat dua penggawanya meninggal dalam pertarungan. Dia mengenang kisah kedua penggawanya lewat deret aksara. Berikut tulisan dan arti dari cerita itu yang juga menjadi cikal bakal aksara jawa:

Ha Na Ca Ra Ka: ono wong loro (ada dua orang)
Da Ta Sa Wa La: podho kerengan (mereka berdua berantem/berkelahi)
Pa Dha Ja Ya Nya: podho joyone (sama-sama kuatnya)
Ma Ga Ba Tha Nga: mergo dadi bathang lorone (maka dari itu jadilah bangkai semuanya/mati dua-duanya karena sama kuatnya)

Baca penjelasan sejarawan tentang sosok Aji Saka di halaman selanjutnya

Penjelasan Sejarawan tentang Aji Saka

Sejarahwan asal Malang, Dwi Cahyono menuturkan bahwa abjad 'ha na ca ra ka' merupakan aksara Jawa baru. Karenanya, Aji Saka bukan sosok yang pertama kali memperkenalkan aksara kepada masyarakat Jawa.

"Legenda Aji Saka adalah legenda yang baru hadir pada era pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo (1613-1645), pada mana abjad 'ha na ca ra ka' itu dicipta. Kini lebih diketahui sebagai aksara Jawa baru," kata Dwi, Rabu (21/9/2022).

Dwi mengatakan, Aji Saka bukan sosok yang kali pertama memperkenalkan aksara pada masyarakat Jawa. Siapa sosok pertama itu? Lantas, Dwi menjelaskan sumber data epigrafi atau prasasti yang ada di Jawa untuk penelusuran aksara jawa.

Sejauh ini, ditemukan prasasti tertua di Jawa yang menggunakan aksara Jawa kuno, yakni prasasti Plumpungan atau Hampran tahun Saka 672 atau 750 masehi. Prasasti ini ditemukan di Desa Plumpungan, Salatiga. Kedua, adalah prasasti Dinoyo I atau prasasti Kanjuruhan tahun Saka 682 atau 760 masehi yang ditemukan di Kali Metro, Malang.

"Tergambar bahwa sejak abad ke VIII masehi, aksara Jawa kuno sudah mulai digunakan di dalam maklumat resmi kerajaan (prasasti), baik prasasti di Kerajaan Mataram atau prasasti Kerajaan Kanjuruhan. Kedua prasasti ini tak memakai aksara Pallawa," kata Dwi Cahyono.

Prasasti Kanjuruhan menggunakan aksara jawa kunoPrasasti Kanjuruhan menggunakan aksara jawa kuno Foto: Istimewa/ Dok. Dwi Cahyono

Prasasti Plumpungan dan Kanjuruhan menggunakan aksara lokal, yakni Jawa kuno. Namun bahasa yang dipergunakan masih merupakan bahasa asing (India), yaitu Bahasa Sanskreta. Prasasti di Jawa yang pertama kali memakai bahasa Jawa kuno adalah Prasasti Sukabhumi tahun Saka 726 atau 804 Masehi dari Kabupaten Kediri.

Dwi mengungkapkan, tidaklah mudah untuk mengidentifikasi sosok yang pertama mengenalkan aksara jawa ini. Namun, ini bisa diidentifikasi melalui aksara Jawa kuno yang diadaptasi dari aksara Pallawa yang berpengaruh di Nusantara semenjak abad IV masehi. Sosok yang mengenalkan aksara jawa kuno ini mungkin adalah 'pembawa aksara Pallawa' dari India Selatan ke Nusantara.

"Jika benar tokoh itu dari Jambu Dwipa (sebutan untuk India), lantas siapakah dia? Suatu pertanyaan yang tidak mudah untuk menelisik ke lorong waktu 1,5 milenium lalu," ungkapnya.

Dwi lantas menjelaskan disertasi RM Ng Poerbatjaraka tentang sosok Agastya in den Archipel. Sosok ini tidak hanya berjasa dalam menyebarkan pengaruh budaya Hindu dari India utara ke India selatan, namun juga sampai Nusantara.

"Demikianlah secara mitologis Agastya diyakini sebagai pembawa atau sosok awal yang perkenalkan anasir budaya India, termasuk di dalamnya budaya keaksaraan ke Jawa semenjak abad IV dan V masehi," beber Dwi.

Sementara aksara Jawa baru 'ha na ca ra ka' dinilai lebih sedikit jumlah aksaranya bila dibanding dengan aksara Jawa kuno. Selain itu, tergambar bahwa aksara Jawa baru tidak memperlihatkan hasil perkembangan secara evolusioner aksara Pallawa.

Oleh karena itu, Aji Saka berkontribusi sebagai sosok yang memperkenalkan abjad 'ha na ca ca ra ka' kepada masyarakat Jawa yang hidup pada masa Kasultanan Mataram. Bukan sosok yang memperkenalkan aksara Jawa kuno terhadap masyarakat Jawa di masa Hindu-Buddha.

"Lebih tepatnya, Aji Saka adalah 'sosok pembaharu' keaksaraan Jawa, dari aksara Jawa kuno ke aksara Jawa baru yang lebih sederhana, yakni jumlahnya lebih sedikit 20 huruf daripada aksara Jawa kuno berjumlah 47 huruf. Sehingga mudah dipelajari dan digunakan," tegasnya.

(hse/sun)


Hide Ads