Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa atau Prabu Sri Aji Jayabaya merupakan Raja Kerajaan Panjalu atau Kediri. Prabu Jayabaya diperkirakan memerintah sekitar tahun 1135-1157.
Jayabaya merupakan putra Raden Panji dari Kerajaan Jenggala dan Putri Sekartaji dari Daha. Pada masa Jayabaya, Kerajaan Kediri mencapai kejayaannya dalam ilmu pengetahuan, sastra dan seni. Pada masanya kitab Mahabarata dan Ramayana diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa.
Namun Jayabaya terkenal sebagai seorang peramal. Ramalannya ia tulis dalam bentuk kakawin atau tembang Jawa. Di antaranya 21 pupuh berirama Asmaradana, 29 pupuh berirama Sinom dan 8 pupuh berirama Dhandanggulo, yang kemudian dikenal dengan Kitab Musarar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Prabu Jayabaya disebut turun tahta pada usia yang sepuh. Ia disebutkan moksa di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Lokasi yang diyakini sebagai tempat moksa Prabu Jayabaya kini dijadikan sebagai petilasan. Hingga kini, tempat itu dikeramatkan penduduk setempat dan ramai dikunjungi peziarah.
Salah satu petugas jaga petilasan, Kamidi (65) menyebut, para peziarah tak hanya datang dari Kediri dan sekitarnya saja. Namun dari berbagai daerah bahkan dari Jakarta. Tujuannya, selain ingin mengenal Jayabaya, juga banyak yang mengharap sesuatu.
"Pengunjung dari berbagai daerah, Jakarta, Surabaya, Situbondo, Pasuruan dan lain-lain. Tujuannya macam-macam, ada yang ingin lulus sekolah, sukses dalam bekerja dan banyak lagi," kata Kamidi.
Para peziarah yang datang, lanjut Kamidi, biasanya akan melakukan sejumlah ritual. Pada bagian akhir, mereka biasanya melanjutkan dengan berdoa di lokasi moksa atau pamoksaan.
"Para pengunjung yang datang sengaja untuk berziarah melakukan rangkaian ritual dari sendang kemudian berdoa di pamoksaan," ujar Kamidi.
Meski demikian, tak semua pengunjung yang berziarah selalu melakukan ritual seperti pada umumnya. Sebab ada juga yang murni mengunjungi karena ingin mengerti lokasi petilasan moksa sang Prabu Jayabaya. Biasanya para pengunjung ini hanya sekadar menikmati area petilasan dengan berfoto. Atau sekedar mandi di sendang
Petilasan pamoksaan Prabu Jayabaya masih satu kompleks dengan petirtaan Sendang Tirta Kamandanu. Meski terdiri dari dua lokasi berbeda, keduanya merupakan kesatuan. Sendang tersebut diyakini lokasi mandi sang prabu dan pemoksaan merupakan lokasi hilangnya jiwa dan jasadnya (moksa).
Loka moksa merupakan bangunan utama yang disucikan para peziarah. Loka moksa terdiri dari lingga dan yoni yang menyatu dengan batu bulat yang memiliki lubang tembus di bagian tengah menyerupai mata.
Lingga dan yoni melambangkan unsur kehidupan laki-laki dan perempuan. Sedangkan batu tersebut konon melambangkan kewaskitaan (ketajaman penglihatan) sang prabu sehingga mampu meramal masa depan.
(abq/sun)