Pengakuan Kosim ini diperoleh dari ayahnya yang bernama Sholeh. Dari ayahnya, ia juga mendapat pusaka sebuah celurit yang diyakini milik kakeknya.
Meski demikian, informasi tentang keturunan Sarip masih diteliti oleh Pemkab Sidoarjo. Sebab saat tewas ditembak kompeni Belanda, Sarip berusia sekitar 35 tahun dan tidak diketahui apakah sudah berkeluarga atau belum.
"Memang belum kita temukan informasi yang akurat apakah Sarip ini meninggal sudah menikah atau masih bujang," kata M Wildan, Ketua Tim Penelusuran Sarip Tambak Oso, Minggu (28//8/2022).
Sementara itu Kosim menyebut bahwa kakeknya merupakan orang asli Tambak Oso. Ia kemudian menyebut bahwa keluarga dan keturunannya banyak yang dimakamkan di kawasan Tambak Oso dan Tambak Sumur.
"Keturunan-keturunannya dari Sarip itu sendiri juga ada, makamnya ya di makam-makamnya (Jadi satu) dengan leluhur-leluhurnya Sarip ini ada di Kiai Mas Ubaidillah, Desa Tambak Sumur, Kecamatan Waru," ujarnya.
Kosim juga membenarkan bahwa Sarip kakeknya itu memang dikenal dermawan dengan rakyat jelata. Ia menyebut zaman itu serba susah karena ada tanam paksa.
"Biasanya itu beliau kalau mau membagikan makanan masuk ke rumah orang miskin itu dan mengecek tungku. Kalau dingin tandanya rumah tersebut tidak memasak seharian lalu beliau meninggalkan beras untuk dimasak," tutur Kosim.
Sarip Tambak Oso diketahui kerap melakukan pencurian dan perampokan kepada tuan tanah dan pejabat kompeni Belanda. Dari hasil itu, Sarip kemudian membagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkan.
Sarip Tambak Oso merupakan legenda bagi masyarakat Sidoarjo. Sarip diperkirakan hidup di akhir abad ke-19. Tambak Oso merupakan nama sebuah desa di Kecamatan Waru, Sidoarjo. Nama desa tersebut diyakini merupakan asal Sarip.
(abq/fat)