Nama Djajus Pete tak asing di dunia sastra jawa modern. Sederet puisi dan cerpennya mendapat tempat khusus di hati pembaca.
Djajus lahir di Ngawi pada 1 Agustus 1948. Beberapa cerpen karya Djajus seperti 'Tatus Lawas Kambuh Maneh' dan 'Baladewa Ilang Gapite'.
Penyair Sastra Jawa dan Redaktur Majalah Sastra Jawa Jayabaya, Widodo Basuki mengaku sangat akrab dengan Djajus. Ia menjadi salah satu saksi betapa nyentriknya Djajus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pak Djajus itu orangnya sastrawan jawa tulen. Dia sebelum menulis ceritanya, diceritakan ke teman, baru setahun kemudian ditulis," kata Widodo saat dihubungi detikJatim, Selasa (19/7/2022).
Kemudian ia menceritakan pengalamannya bersama Djajus di Jakarta pada 1999. Dalam sebuah acara diskusi, Widodo menampilkan sebuah guritan atau puisi berirama. Sementara Djajus membacakan cerpen.
Baca juga: Sastrawan Jawa Djajus Pete Berpulang |
Dalam acara tersebut, cerpen karya Djajus yang berbahasa Jawa mengalahkan cerpen bahasa Indonesia. Menurutnya, ada banyak keunikan dalam cerpen Djajus, terutama dalam mengungkapkan simbol-simbol.
"Memang diakui atau tidak, untuk karya cerpen jawa Pak Djajus itu terhebat," imbuhnya.
Ia juga mengenal Djajus sebagai penggemar berat dari rokok. Kemudian bagi banyak orang, kopi dan rokok tidak bisa dipisahkan. Begitu juga bagi hidup Djajus. Sebab menurut Widodo, Djajus juga merupakan penggemar kopi yaitu kopi kotok.
Widodo terakhir bertemu dengan Djajus pada awal tahun 2022. Ia masih ingat pesan-pesan dari Djajus sebagai pengarang.
"Dia itu pikirannya nyeleneh. Ngomong bahwa jadi pengarang itu harus sombong dalam artian yang bagus. Sastra itu harus punya isi, jangan asal-asalan sekadar membuat seperti recehan," terang Widodo.
"Jadi karyanya itu benar-benar kental dengan pemikirannya yang diungkap. Pak Djajus itu kelucuannya itu yang masih diingat. Sama saya dekat sekali," tambahnya.
Soal betapa nyentrik dan idealisnya Djajus juga kembali dibahas Widodo. Menurutnya, setiap cerpen yang ditulis Djajus merupakan pemenang dari pertempuran sengit yang terjadi di kepalanya.
"Dia mengaku di otaknya ada cerpen ribuan tapi nggak diwujudkan dalam tulisan. Dia nggak sreg, kalau nggak benar-benar sreg itu nggak ditulis," ujarnya.
Djajus meraih Penghargaan Sastra Rancage pada 2001. Penghargaan itu atas karyanya kumpulan cerpen 'Kreteg Emas Jurang Gupit'.
Selain sebagai pengarang, ia juga seorang guru bahkan jurnalis. Pada 1988, ia mengajar di sebuah SD Negeri di Kecamatan Purwosari, Bojonegoro. SD tersebut dikenal dengan nama SD Pamong.
Baca juga: Lirik Lagu Rek Ayo Rek yang Surabaya Banget |
Sementara sebagai jurnalis, tulisannya sering dimuat di harian Surabaya Post. Juga di tabloid mingguan berbahasa jawa Jaya baya.
Hobi lain dari seorang Djajus adalah melukis dan fotografi. Sehingga ia juga sering menjadi ilustrator di cerpen-cerpennya.
Hari ini Djajus berpulang. Ia meninggal di usia 74 tahun karena sakit.