Banyak orang yang menjadikan puisi sebagai sarana atau wadah untuk berekspresi dengan mengangkat berbagai macam topik atau tema tertentu. Tidak sedikit karya puisi yang menegaskan aspek lokalitas dengan membawa topik daerah, menggambarkan kekayaan budaya, alam, maupun kehidupan yang mengisi di dalamnya.
Dalam dunia sastra, puisi-puisi tentang Jawa Timur berhasil menangkap nuansa dan ciri khas daerah ini melalui padanan kata dan bahasa yang memiliki makna mendalam.
Puisi tentang Jawa Timur dari Sastrawan Legendaris
Berikut beberapa puisi yang menonjolkan lokalitas dengan mengangkat topik mengenai Jawa Timur yang memiliki kesan dan makna mendalam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
1. MADURA, AKULAH DARAHMU (D. Zawawi Imron)
Di atasmu, bongkahan batu yang bisu
Tidur merangkum nyala dan tumbuh berbunga doa
Biar berguling di atas duri hati tak kan luka
Meski mengeram di dalam nyeri cinta tak kan layu
Dan aku
Anak sulung yang sekaligus anak bungsumu
Kini kembali ke dalam rahimmu, dan tahulah
Bahwa aku sapi kerapan
Yang lahir dari senyum dan air matamu
Seusap debu hinggaplah, setetes embun hinggaplah,
Sebasah madu hinggaplah
Menanggung biru langit moyangku, menanggung karat
Emas semesta, menanggung parau sekarat tujuh benua
Di sini
Perkenankan aku berseru:
- madura, engkaulah tangisku
bila musim labuh hujan tak turun
kubasuhi kau dengan denyutku
bila dadamu kerontang
kubajak kau dengan tanduk logamku
di atas bukit garam
kunyalakan otakku
lantaran aku adalah sapi kerapan
yang menetas dari senyum dan air matamu
aku lari mengejar ombak, aku terbang memeluk bulan
dan memetik bintang-gemintang
di ranting-ranting roh nenek moyangku
di ubun langit kuucapkan sumpah:
- madura, akulah darahmu.
2. SURABAYA MALAM HARI (Herry Lamongan, 1989)
keremangan setelah matahari
rebah perlahan menimpa jalan-jalan
lalu adzan lalu lampu-lampu
menyertai Surabaya memerangi gelap langit
dalam plaza dan hotel-hotel
masih kuyup kah dalam ingatan
darah arek-arek yang menyeka kemerdekaan
atau hanya kemarau
berdebu pada tugu dan bayangannya?
orang-orang pulang menuju adzan
meniti pijar demi pijar hening langit
orang-orang pergi menunda sepi
melupakan rumah plaza dan hotel-hotel
menikmati malam Surabaya
aku merasa siang sejauh melangkah
sementara keperkasaan November
tinggal beku pada bentang spanduk
mempersunyi gemuruh Surabaya
yang tumbuh dari curah darah arek-areknya
3. GENTENGKALI SIANGHARI (Aming Aminoedhin, 1989)
hari telah siang. ada rimis hujan jatuh sebentar
telah habis oleh mentari yang kembali membakar
ada perasaan riang. setelah sua dalam kabar
dengan perempuan berkacamata yang berbinar
cerita-cerita lama kembali digelar
seperti air yang mengalir terasa segar
cerita-cerita memilih artinya sendiri
pada kenangan yang masih sempat terpatri
ternyata pintu hati masih terbuka
untuk misteri bernama cinta
meski tertangkap samar, namun masih
terasa ada bergetar
SURABAYA I (Aming Aminoedhin, 1986)
pasar kini telah berubah di sini
pasar adalah lampu-lampu iklan
di mana dagangan ditawarkan
lewat lampu-lampu iklan
yang gemerlap tinggi mencuat
aku hanya bisa nelangsa menatap
orang-orang dimuntahkan oleh bis-kota
dan plaza-plaza bertingkat, dan
di kemudian hari ditelan kembali
dengan jumlah dan hitungan kian sarat
plaza-plaza bertingkat
kian semakin padat pengunjung
rumah-rumah ibadat
semakin kehilangan juntrung
oleh penghujung
lupakah mereka?
Itulah soalnya aku bertanya
(hil/irb)