Masjid Baitul Muttaqin di Desa/Kecamatan Kutorejo sekilas terlihat biasa saja. Masjid ini ternyata menjadi bukti soliditas umat muslim dengan Etnis Tionghoa pada masa kolonial.
Pengunjung datang silih berganti untuk salat duhur, lalu melepas lelah di teras masjid. Ada pula yang iktikaf di dalam masjid, serta menikmati keindahan kubah sembari menunggu salat asar. Kubah beton dengan hiasan kaligrafi itu ditopang 6 pilar kayu besar. Interiornya lebih manis dengan lampu gantung yang klasik.
"Semangat kami menjaga toleransi antarumat beragama. Umat nonmuslim boleh mampir ke sini untuk sekadar melepas lelah. Masjid ini untuk semua ormas Islam. Jadi, tidak identik dengan aliran atau golongan tertentu," kata Tokoh Pemuda Kutorejo, Miftahul Jamil (36) kepada detikJatim di lokasi, Rabu (6/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
Jamil menjelaskan, Masjid Baitul Muttaqin berdiri di lahan dengan luas sekitar 60 x 20 meter persegi. Tak sekadar toleransi antarumat beragama, masjid ini juga menjadi bukti soliditas Etnis Tionghoa dengan umat muslim pada masa penjajahan Belanda. Karena lahan masjid ini hibah dari Keluarga The Boen Keh yang kini keturunannya tinggal di depan Pasar Kutorejo.
"Masjid ini tanahnya hibah dari keluarga Tionghoa. Karena kala itu, masjid yang lama sudah tidak muat menampung jemaah," terangnya.
Desa Kutorejo mulai ramai sejak menjadi pusat pemerintahan Onder Distrik (kecamatan) Koetoredjo yang berdiri tahun 1902. Onder distrik ini masuk wilayah Distrik atau Kawedanan Mojosari. Ditambah lagi karena keberadaan Pabrik Gula Ketanen sehingga Kutorejo menjadi pusat perekonomian sekaligus pemerintahan.
![]() |
Kian ramainya penduduk yang tinggal di Kutorejo, kata Jamil, membuat kebutuhan akan tempat ibadah juga bertambah. Sehingga Masjid Baitul Muttaqin dibangun tahun 1928 atau 94 tahun silam di atas tanah pemberian keluarga Tionghoa, The Boen Keh.
"Selain karena pemindahan pusat pemerintahan, Kutorejo ramai juga karena ada pasar londo dan pabrik gula yang sekarang menjadi SMA Kutorejo," ungkapnya.
Jamil menuturkan, keluarga Boen Keh kala itu juga menyumbang sebuah mimbar untuk khatib salat Jumat maupun salat id. Mimbar berbahan kayu berhias ukiran motif kembang itu terus digunakan sampai sekarang. Hanya saja, bagian atap mimbar tersebut telah dipotong.
"Atap mimbar dipotong supaya tidak menjadi polemik. Bentuk atapnya seperti peti mati Tionghoa, ada hiasan ukiran naga juga," jelasnya.
Pemerhati Sejarah Mojokerto, Ayuhanafiq menuturkan, Onder Distrik Koetoredjo berdiri karena pemindahan pusat pemerintahan Kabupaten Mojokerto dari Madiopuro ke Desa Kutorejo pada masa kolonial Belanda. Kutorejo menjadi pusat sebuah kecamatan juga tak lepas dari keberadaan Pabrik Gula Ketanen milik keluarga The Boen Keh. Keluarga Etnis Tionghoa ini membeli pabrik gula tersebut dari GC Bohl tahun 1870.
Pada masa itu, Onder Distrik Koetoredjo dipimpin seorang asisten wedono atau camat bernama Mas Prawiroadinoto. Pembangunan Masjid Onderan Koetoredjo yang sekarang bernama Baitul Muttaqin digelar setelah pembangunan kantor kecamatan.
"Ada cerita menarik dari pembangunan masjid itu. Keluarga The Boen Keh ikut memberi bantuan saat mendirikannya. Bukan hanya bantuan materi, keluarga China asal Kapasan Surabaya itu juga menyumbang mimbar," ungkapnya.
![]() |
Mimbar khatib berbahan kayu jati tersebut, menurut Ayuhanafiq, bukanlah mimbar sembarangan. Sebab mimbar tersebut sebelumnya altar untuk sembahyang keluarga The Boen Keh. Hanya saja ukiran naga pada kanan dan kiri mimbar sudah dipotong untuk menghilangkan kesan Tionghoa.
"Kini yang tersisa adalah ekor dan badannya saja. Mimbar tersebut masih digunakan hingga saat ini," terangnya.
Sebuah alat penentu waktu salat yang dibuat pada masa kolonial juga masih bertahan di halaman Masjid Baitul Muttaqin. Alat ini untuk menentukan waktu salat duhur dan asar menggunakan bayangan yang terbentuk karena cahaya matahari.
"Masjid ini menjadi bukti toleransi antarumat beragama dengan bukti mimbar yang berasal dari altar orang Tionghoa. Masyarakat tidak pernah mempersoalkan hal itu apalagi sampai bersikap mengharamkannya. Semoga sikap toleran itu terus terpelihara," tandas Ayuhanafiq.
Tak sekadar untuk salat lima waktu dan salat Jumat, Masjid Baitul Muttaqin juga menjadi tempat para remaja masjid untuk melestarikan kesenian hadrah dan albanjari. Selama Ramadan, kegiatan masyarakat kian banyak. Mulai dari tadarus, pengajian kitab hingga kultum menjelang buka bersama. Makanan untuk berbuka puasa selalu disediakan gratis di masjid ini.
Di depan Masjid Baitul Muttaqin terdapat monumen untuk mengenang perjuangan Kompi Macan Putih melawan penjajah. Masyarakat biasa menyebutnya Watu Gede. Kompi tersebut dipimpin Soemadi yang lahir di Desa Kutorejo. Beliau wafat tahun 1988 dengan pangkat Mayor Jenderal dan dimakamkan di TMP Kalibata Jakarta.
(sun/sun)