Nama Surabaya lahir dari mitos perkelahian Sura (Ikan hiu) dan Baya atau buaya dalam bahasa Indonesia. Sejarah panjang lahirnya mitos itu, tak lepas dari gejala alam yang terjadi di ibukota Jawa Timur itu.
Soenarto Timoer mengupas dalam bukunya "Menjelajahi Zaman Bahari Indonesia Mitos Cura Bhaya, Cerita Rakyat Sebagai Sumber Penelitian Sejarah Surabaya. Buku yang diterbitkan PN Balai Pustaka ini, dicetak pertama tahun 1983.
Pegiat Sejarah Surabaya, Kuncarsono Prasetyo mengakui, Buku Soenarto Timoer ini menjadi rujukan kajian sejarah di Jawa Timur, khususnya Surabaya. Terjadi kesalahan tafsir arti mitos itu, ketika tulisan (Tagline) Sura Ing Baya dihilangkan dari lambang Kota Surabaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemahaman orang sekarang, Surabaya itu artinya berani melawan bahaya. Padahal sebenarnya, dari kajian sejarahnya, mitos hiu dan buaya itu sama-sama berani dan bahaya," kata Kuncar, Selasa (25/1/2022).
Pada abad XIV, sesuai tingkat alam pikiran masyarakat Jawa pada waktu itu, bencana alam sebagai tantangan kehidupan manusia banyak menimbulkan kepercayaan mistis.
Memberi nama pada sesuatu, kadang orang mengambil pengalaman oleh situasi alam yang dihubungkan dengan kekuasaan ghaib. Sehingga timbullah anggapan, adanya mahkluk kasad mata yang menjadi sumber terjadinya fenomena alam. Mahkluk-mahkluk itu biasa disebut dhanyangan atau dewa.
Karena dhanyang atau dewa itu abstrak, tidak kasad mata, orang jadi sulit menalarkannya. Agar dapat mudah menalarkannya sesuai dengan tingkat kecerdasan pada zaman itu, maka mahkluk-mahkluk yang hebat dengan kekuatan dahsyat itu dipersonifikasi makhluk yang abstrak tadi. Demikianlah proses terciptanya berbagai macam mitos menurut Soenarto.
Mitos Cura Bhaya sendiri, diawali terjadinya delta-delta oleh endapan lumpur dan pasir dari aliran-aliran sungai yang bermuara di Sungai Brantas. Yakni Kali Mas dan Kali Surabaya. Endapan itu dipercepat karena terjadinya banjir bandang akibat meletusnya Gunung Kelud di wilayah Kediri.
![]() |
Mitos ikan dan buaya dipahatkan pada relief Gua Selamangleng Kediri pada abad XII-XIII. Tahun ini jelas lebih tua dari Kota Surabaya yang lahir tak lama sesudah bencana meletusnya Gunung Kelud (Kamput) pada tahun 1334 Masehi. Atau bertepatan dengan tahun lahirnya Hayam Wuruk, raja besar Majapahit. Mitos Cura-Bhaya hanya berlaku di Hujunggaluh dan sekitarnya. Karena sebutan Cura-Bhaya dimaksudkan untuk memberikan nama baru bagi Hujunggaluh.
Berakhirnya sebutan Hujunggaluh ialah berita dari Pararaton bahwa Aji Jayakatwang meninggal di Hujunggaluh. Setelah mengubah "Kidung Wukit Polaman" pada tahun 1293. Jayakatwang adalah Bupati Gelanggelang (kini Madiun) yang pada tahun 1292 memberontak dan meruntuhkan Kerajaan Singhasari. Ia kemudian membangun kembali Kerajaan Kadiri, tetapi hanya bertahan sampai tahun 1293.
Dengan demikian, terjadilah perubahan nama Hujunggaluh menjadi Curabhaya. Hal ini diketahui antara tahun 1293-1352, saat Hayam Wuruk mengunjungi Surabaya (Negarakrtagama pupuh XVII : 5d.).
Penduduk Hujunggaluh (nama awal Surabaya), seperti tergugah ingatannya kembali akan mitos perebutan wilayah air dan daratan. Perkelahian antara penguasa lautan yang dilambangkan ikan hiu. Dan penguasa daratan yang dilambangkan dengan Buaya. Mengapa buaya dilambangkan sebagai penguasa daratan ? Sebab di daratan delta-delta atau muara sungai, tidak ada binatang buas lainnya kecuali Buaya.
Demikian mitos Cura-Bhaya ini juga diartikan sama-sama berani dan berbahaya. Sejauh ini, belum pernah ditemukan bentuk naskah lengkap dalam bahasa asli Jawa. Namun cerita tutur yang didongengkan dari mulut ke mulut di awal abad XXV ini, masih hidup di sebagian perkampungan di Surabaya.
Seorang Belanda, Von Faber (1931), juga sempat mengisahkan kembali mitos ini berupa tulisan dalam bahasa Belanda yang dimuat dalam "Oud Soerabaia". Kemudian lambang ikan hiu dan buaya, ditemukan sebagai wujud tertua pada sebuah simbol memperingati 10 tahun usia Perkumpulan Musik St Caecilia (1848-1858). Dan simbol atau lambang ini terletak di simbol kepala " Soerabayashe Courant" pada tahun 1858.
Lambang ikan hiu dan buaya, juga terpampang dalam lukisan lambang (wapenheraldiek) Kota Haminte Surabaya pada zaman penjajahan Belanda. Heraldiek itu menggambarkan sebuah perisai berwarna biru langit diberi lukisan ikan hiu di bagian atas dan buaya di bagian bawah.
Keduanya berwarna perak. Di atas perisai sebuah benteng yang direka dalam bentuk mahkota emas. Sisi kanan kiri perisai dipegangi dua ekor singa Neerlandia (Nederlandse Leeuwen) berwarna emas menjulur keluar.
Soenarto menilai, Singa Neerlandia dan mahkota benteng jelas melambangkan kekuasaan kerajaan Belanda. Sedangkan di bagian bawah, pita hias yang sekaligus berfungsi sebagai lantai dasar bertuliskan "Soera-Ing-Baiya". Soenarto menafsirkan, Surabaya tidak dalam arti berani dalam bahaya. Melainkan sama-sama berani dan berbahaya.
(fat/fat)