Jekikrek merupakan mainan tradisional yang terbuat dari anyaman daun lontar atau kelapa muda. Biasanya mainan ini berbentuk kuda atau jaranan yang diberi 4 roda dan biasanya diseret dengan tali.
Mainan tempo dulu ini bisa dibilang sudah sangat jarang ditemui di era sekarang. Terlebih di tengah gempuran mainan modern dan digital.
Namun siapa sangka di sebuah dusun di Lamongan ternyata masih ada yang memproduksinya. Bahkan hampir seluruh warganya mampu membuatnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dusun tersebut adalah Jatilangkir, Desa Wonokromo, Kecamatan Tikung. Karena keahlian warganya ini, dusun tersebut mendapat julukan kampung jekikrek.
Sebutan tersebut bahkan ditegaskan di pintu masuk dusun dengan tulisan "Jatilangkir Kampoeng Jekikrek".
Tasdi, warga setempat mengatakan masih eksisnya mainan jekikrek di kampungnya karena bahan daun lontar masih ada. Jadi tak heran, mayoritas warga masih memproduksi serta mendistribusikan mainan ke luar daerah.
"Hampir semua warga di dusun ini bisa membuat Jekikrek yang bahannya memang ada tersedia di kampung sini, setiap keluarga di sini adalah perajin mainan ini," kata Tasdi, Jumat (10/2/2023).
Tasdi dan warta setempat sendiri mengaku tak mengetahui asal usul nama jekikrek. Namun yang pasti keahlian ini sudah turun temurun sejak dulu.
"Tidak tahu kok bisa nama mainan ini Jekikrek, kami mengerjakan inipun sudah turun temurun sejak dulu," ujar Tasdi yang juga perajin jekikrek.
Selain untuk mainan anak-anak, jekikrek yang terbuat dari daun kelapa muda bisanya juga diisi dengan beras dan dimasak sebagai ketupat dengan bentuk jaranan atau burung. Biasanya ini dilakukan saat lebaran.
Pembuatan jekikrek pun tergolong sederhana. Awalnya warga mengambil daun lontar atau kelapa. Lalu membersihkannya dari duri-duri yang masih menempel dan selanjutnya dijemur.
Setelah itu, daun lontar yang telah kering dipotong-potong sesuai ukuran yang diinginkan. Baru kemudian dianyam sesuai bentuk yang diinginkan.
"Untuk menganyam hanya sebentar, membutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk membuat Jekikrek yang hampir jadi," terang Tasdi.
Untuk lebih mempercantik tampilan jekikrek, perajin biasanya menambahkan cat aneka warna sesuai kebutuhan dan keinginan. Bagian kepala, punggung dan roda adalah bagian yang biasanya dipercantik dengan cat aneka warna tersebut.
"Yang tersulit sebenarnya adalah menganyam untuk membentuk roda, karena bentuknya yang kecil dan sedikit rumit," aku Tasdi.
![]() |
Tambi, perajin jekikrek lainnya mengaku dalam sehari, ia dan istrinya bisa membuat sekitar 200 hingga 250 jekikrek per hari. Ia menyebut telah membuat mainan ini sejak tahun 1992.
Dari hasil penjualan mainan tradisional yang hampir punah ini, Tambi bisa mencukupi kebutuhan istri serta anak-anaknya. Biasanya hasil produksinya ia jual ke pengepul Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu per bijinya.
"Harga jual dari para perajin ini kami menjualnya dengan harga Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu perbiji," kata Tambi.
Tambi, Tasdi dan warga dusun lainnya biasanya menjual sendiri mainan tradisional jekikrek ini. Tidak hanya di Lamongan, tapi juga kota-kota lain.
Tasdi misalnya, ia menjajakan sendiri dagangannya ke daerah Mojokerto dengan mengayuh sepeda onthel hampir setiap pagi. Daerah-daerah lain juga kerap menjadi jujukan para perajin untuk menjual jekikrek.
"Kalau saya biasanya menjualnya ke Mojokerto, tapi warga lain ada yang ke Bojonegoro, Gresik, Surabaya dan kota-kota lainnya," tutur Tambi.
Meski zaman terus berganti, namun warga Jatilangkir tetap berharap permainan tradisional ini tak punah dan akan terus membuatnya. "Semoga mainan seperti Jekikrek ini tetap ada peminatnya dan tetap laku di pasaran," harap Tambi.