Mengintip Produksi Bendo Ala Pande Besi yang Eksis 53 Tahun di Mojokerto

Mengintip Produksi Bendo Ala Pande Besi yang Eksis 53 Tahun di Mojokerto

Enggran Eko Budianto - detikJatim
Selasa, 14 Jan 2025 10:15 WIB
Mengintip Produksi Bendo Ala Pande Besi yang Eksis 53 Tahun di Mojokerto
Produksi bendo ala pande besi di Mojokerto (Foto: Enggran Eko Budianto/detikJatim)
Mojokerto -

Sulkan (66) menjadi satu-satunya pande besi tradisional yang masih eksis di Desa Watesumpak, Trowulan, Mojokerto. Suami Rupi ini mempertahankan teknik warisan leluhurnya untuk memproduksi aneka alat pertanian, termasuk bendo. Seperti apa?

Setiap harinya, Sulkan bekerja di bengkel sederhana belakang rumah adiknya, Dusun Jatisumber, Desa Watesumpak. Ia dibantu adik kandungnya, Suyopo (55) dan keponakannya, Jumain (35). Mereka memproduksi alat-alat pertanian, seperti sabit, bendo, parang, pedang dan cangkul.

Untuk membuat 1 peralatan tajam, mereka lebih dulu menempa pelat besi berulang kali. Pelat besi dan baja mereka beli dari pengepul rongsokan Rp 10-12 ribu/Kg. Pembakarannya hanya menggunakan arang yang baranya dialiri udara dari blower elektrik. Sejak 1971 sampai 1990, Sulkan menggunakan alat tradisional bernama ubup untuk mengalirkan udara ke bara arang.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Setelah ditempa berulang kali, baru lah pelat besi dibelah untuk dimasuki pelat baja. Lagi-lagi Sulkan dan keluarganya harus menempa dan membakarnya berulang kali. Tujuannya tak lain supaya besi benar-benar menyatu dengan baja. Sembari menempa, mereka juga membentuk pelat sesuai peralatan tajam yang ingin dibuat.

Teknik ini lah yang membuat peralatan tajam karya Sulkan terus diminati masyarakat. Sebab bendo, parang, sabit dan lainnya benar-benar tajam dan kuat. "Kami lebur besi dan baja dulu sehingga lebih tajam dan kuat," jelasnya kepada wartawan di lokasi, Selasa (14/1/2025).

ADVERTISEMENT

Selanjutnya tahap finishing, bilah dihaluskan dan diasah Suyopo. Kemudian Sulkan dan Jumain membuat gagang berbahan kayu petai, waru atau akasia. Sebab tiga jenis kayu itu lebih kuat, tapi murah. Uniknya, mereka membentuk gagang secara manual dengan bantuan tali tambang, pahat dan sandaran kayu.

Pemasangan bilah ke gagang menjadi tahap akhir. Setiap harinya pukul 08.00-14.00 WIB, Sulkan dan keluarganya menghasilkan 8-10 peralatan tajam. Para pembeli lah yang selalu datang ke bengkelnya. Harga produknya pun bervariasi, mulai dari pisau dapur Rp 35.000, bendo Rp 100.000, sabit Rp 90.000, sampai cangkul Rp 150-300 ribu.

"Pembelinya bakol (pedagang) dan perorangan. Setiap hari saya juga melayani bikin dan servis pahat untuk para pematung," tandasnya.

Sulkan menjadi pande besi sejak 1971. Di usianya yang baru 13 tahun, pria kelahiran 1958 ini belajar ke para pande besi di Dusun Jatisumber. Termasuk kepada mendiang bapaknya. Sebab pada masa itu, terdapat sekitar 50 pande besi di kampung ini.

Kini, Sulkan satu-satunya pande besi tradisional yang masih bertahan di Desa Watesumpak. Padahal tahun 1970-1990-an, kampung ini terkenal sebagai gudangnya pande besi. Produk mereka dipasarkan mulai dari Jatim, hingga Kalimantan dan Sumatera.

Perlahan profesi ini nyaris punah karena generasi penerusnya beralih menjadi pemahat patung batu andesit dan pekerjaan lainnya. Sebab upah yang mereka dapatkan lebih tinggi daripada menjadi pande besi.




(hil/fat)


Hide Ads