Pakar Kebijakan Publik ITS Sebut BBM Naik Sudah Tepat karena Ikuti Harga Pasar

Pakar Kebijakan Publik ITS Sebut BBM Naik Sudah Tepat karena Ikuti Harga Pasar

Praditya Fauzi Rahman - detikJatim
Minggu, 04 Sep 2022 22:25 WIB
spbu di diponegoro surabaya
SPBU di Surabaya (Foto: Praditya Fauzi Rahman/detikJatim)
Surabaya -

Kenaikan harga BBM menimbulkan polemik ke sejumlah masyarakat. Namun, hal tersebut tak melulu bisa dipandang negatif. Pakar ekonomi menyebut, kenaikan BBM ini sudah tepat. Namun, masyarakat perlu diberikan edukasi.

Ketua Pusat Kajian Kebijakan Publik Bisnis dan Industri dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Profesor Arman Hakim Nasution mengatakan, dalam pandangannya, seyogyanya semua masyarakat menyepakati harga BBM naik.

Jika berbicara masalah kenaikan, Arman mengatakan, penggunaan BBM telah tercantum dalam amanat UUD 1945, yakni 'Bumi dan kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jadi, intinya BBM itu harus ada yang subsidi dan mengikuti harga pasar, BBM yang harus disubsidi harus tepat sasaran, sehingga kalau kita bicara pertalite dan solar naik, maka sebenarnya ini implementasi UUD 1945," kata Arman kepada detikJatim, Minggu (4/9/2022).

Dosen Ekonomi Makro ITS Surabaya itu menjelaskan, ada hal yang paling penting dibanding menaikkan BBM saja. Salah satunya, bagaimana daya beli masyarakat, khususnya level bawah dan menengah itu diangkat. Sehingga, ekonomi masih tetap bisa berputar.

ADVERTISEMENT

Selain itu, Arman menyoroti soal edukasi kepada masyarakat yang dinilai juga tak kalah penting. Salah satu contoh mudah, lanjut Arman, adalah ketika diberikan BLT.

"Harusnya, (saat pemberian BLT) ada edukasinya, paling gampang adalah ketika pemerintah mengeluarkan BLT. Seperti di Singapura itu ada BLT, kalau harga-harga sekarang naik itu, saya dengar teman saya yang kerja di Singapura itu bilang, setahun rata-rata bisa dapat 2 sampai 3 kali senilai 100$ Singapura untuk beli kebutuhan pokok di Supermarket. Bedanya, BLT di Singapura semua (rakyat) dapat, kalau di kita kan beberapa masyarakat, golongan menengah bawah ya," paparnya.

Oleh karena itu, ia optimis bila pemerintah bisa mengatasi permasalahan yang ada pasca-BBM meningkat. Terlebih, pemberian bantuan di bawah pengawasan dan penerapan dari Mensos RI, Tri Rismaharini.

Meski begitu, ia mewanti-wanti agar bantuan tepat sasaran. Bahkan, juga mengedukasi masyarakat secara masif.

"Kalau Bu Risma geraknya lebih cepat ya, apalagi kita tahu Bu Risma itu gayanya memang cepat, semoga tidak salah sasaran akibat salah data. Maka, yang paling tepat edukasinya itu adalah ketika BLT diberikan, edukasi ke golongan menengah bawah. Lalu, golongan menengah, itu bisa melalui alih subsidi, misalnya untuk anggaran pendidikan, setidaknya mahasiswa, tenaga akademik, dan lain sebagainya," tuturnya.

"Kalau Bu Risma geraknya lebih cepat ya, apalagi kita tahu Bu Risma itu gayanya memang cepat, semoga tidak salah sasaran akibat salah data. Maka, yang paling tepat edukasinya itu adalah ketika BLT diberikan, edukasi ke golongan menengah bawah. Lalu, golongan menengah, itu bisa melalui alih subsidi, misalnya untuk anggaran pendidikan, setidaknya mahasiswa, tenaga akademik, dan lain sebagainya," tuturnya.

Sementara soal kebijakan pemerintah dalam mengumumkan dan menaikkan BBM, Arman mengaku sudah tepat. Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu dibenahi.

"Usulan saya, yang perlu dibenahi adalah yang ditaruh di depan kan Pertamina ya, padahal pertamina ini pemain di level bisnisnya, sementara di hulu kan baru kemarin muncul seperti Menteri ESDM dan BUMN," katanya.

Untuk pembatasan dan merek dalam pembelian Pertalite, Arman mengaku juga sudah tepat. Meskipun naik, namun ia merasa hal tersebut bakal lebih mudah dikendalikan atau dimonitor.

Arman lantas memastikan harga BBM di Indonesia terbilang masih murah bila dibanding sejumlah negara Asia lainnya.

"Yang jelas bahwa, dibanding negara Asia lainnya, kita ini masih murah ya tarifnya, dibanding Singapura lah, ron 95 singapura itu konversinya hampir Rp 34.000," tutup pria yang juga mengajar mata kuliah Strategi Manajemen di ITS itu.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: RI Impor Minyak Rp 500 T Per Tahun, Padahal Dulu Bisa Ekspor"
[Gambas:Video 20detik]
(hil/fat)


Hide Ads