Slamet Gundul merupakan pimpinan perampok bersenjata legendaris yang pernah ada dalam sejarah kriminal di Indonesia. Perampok spesialis nasabah bank ini juga dikenal licin bak belut saat meloloskan diri.
Delapan tahun di dunia kejahatan, Slamet Gundul tercatat sudah 55 kali melakukan perampokan. Sasarannya adalah para orang-orang kaya nasabah bank di zamannya.
Sepanjang tahun 1989, total hasil rampokannya saja, mencapai Rp 159,5 juta. Jumlah itu setara dengan puluhan miliar bila dikurskan dengan nilai Rupiah saat ini. Slamet Gundul adalah legenda perampok di Pulau Jawa asal Malang pada dekade 1980-1990. Ia dikenal licin bak belut saat meloloskan diri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak heran, pada tahun itu juga, Direktur Reserse Mabes Polri Koesparmono Irsan sampai mengeluarkan perintah tegas 'Tangkap Slamet Gundul hidup atau mati'.
Perintah ini ditujukan tak hanya kepada segenap jajaran Reserse Polri di Pulau Jawa. Tapi juga hingga Nusa Tenggara dan Sumatra Bagian Selatan.
Dilansir dari detikX, Slamet Gundul lahir di Malang dengan nama asli Supriadi. Namun namanya sering berubah-ubah. Kadang Slamet Santoso, lain waktu Samsul Gunawan.
Di kalangan teman-temannya, Slamet kerap disapa 'Nyo' atau 'Gundul', karena sering memotong rambutnya hingga kepalanya plontos. Ia mengawali perjalanan di dunia kriminalitas sejak usia remaja.
Tampang Slamet Gundul tak sangar seperti bromocorah pada umumnya. Ia memiliki ciri fisik pipi tembam, hidung lebar, dan tanpa lipatan kelopak mata. Wajahnya polos dan selalu tersenyum.
Menariknya, dari setiap aksi perampokan yang dilakukannya, tak satu pun korban dilukainya. Meski begitu polisi selalu mati-matian mengejarnya. Tapi bukan Slamet Gundul kalau tak bisa meloloskan diri, meski sudah tertangkap.
Dibandingkan di daerah asalnya, aksi perampokan Slamet Gundul memang lebih banyak dilakukan di luar Jawa Timur, seperti di Jakarta dan Semarang, Jawa Tengah.
Dari catatan yang ada, ia sebelas kali membegal di Jakarta. Hal itu membuat polisi Polda Metro Jaya geram. Pada Januari 1987, polisi mengendus keberadaan Slamet Gundul di rumah kontrakan di kawasan Pondok Kopi, Jakarta Timur. Puluhan polisi mengepung rumah tersebut. Begitu pintu diketuk polisi, yang keluar hanya istrinya.
Slamet Gundul, yang menggenggam dua pistol revolver Colt kaliber 32 dan 38, melompati tembok setinggi 2 meter yang membatasi kamar mandi dengan dapur tetangga. Dua polisi yang sudah menunggu di rumah tetangga pun ia kelabui. Karena kalah cepat, polisi dan Slamet Gundul beradu tembak.
Slamet Gundul menembaki polisi dengan membabi buta dan berhasil meloloskan diri dari pagar betis polisi. Ia berhasil menyambar dan membawa Metromini yang tengah dicuci dan kabur. Tapi, tak lama, pada awal 1987 itu pula, Slamet Gundul bersama dua rekannya, Jarot dan Sahut, sempat tertangkap.
Ketiganya kemudian diadili di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Hakim memvonis masing-masing tiga tahun penjara. Usai divonis, Slamet, Jarot, dan Sahut langsung dimasukkan ke mobil tahanan di parkiran halaman pengadilan.
Namun, ketiganya mendorong petugas pengawal hingga terjatuh. Slamet dan Jarot berhasil kabur dengan menumpang sepeda motor. Sementara itu, Sahut bisa diringkus kembali saat itu.
Kisah penangkapan Slamet Gundul hidup atau mati ini juga sempat dituangkan dalam buku berjudul "Kriminologi Suatu Pengantar" karya Nursarini Simatupang dan Faisal terbitan 2017.
Dalam bukunya, Nursarini menuturkan Slamet pernah berhasil meloloskan diri saat disergap anggota reserse Polda Jateng, dari Unit Sidik Sakti, di sebuah SPBU di Pandansimping, Klaten. Unit Sidik Sakti merupakan jagonya pada masanya.
Penyergapan saat itu ketika Slamet dan komplotannya hendak beroperasi. Dalam penyergapan itu, baku tembak selama 15 menit tak terhindarkan. Salah satu rekan Slamet bernama Jarot tewas dalam aksi itu.
Sedangkan Subagio dan Sugeng, tertangkap dalam keadaan terluka. Slamet sendiri saat itu juga kena tembakan di kedua bahunya. Tapi masih bisa kabur dengan sepeda motor.
Dari Jakarta, Slamet kemudian melanjutkan petualangan perampokan ke Semarang, Jawa Tengah. Setahun selama di sana, tercatat Slamet dan komplotannya berhasil merampok duit Rp 159,5 juta.
Tercatat, sepanjang 1989, Slamet dan komplotannya pernah merampok juragan tembakau di Kendal senilai Rp 23 juta, juragan ikan Rp 40 juta, menggondol uang milik Universitas Islam Sultan Agung (Unisula) Semarang Rp 34 juta, nasabah Bank BCA Peterongan senilai Rp 28,5 juta, dan Rp 34 juta dari karyawan PT Nyonya Meneer Semarang.
Slamet Gundul selalu bisa meloloskan diri dari sergapan polisi Polrestabes Semarang. Modusnya, ia selalu lari ke daerah permukiman padat penduduk sambil menebarkan uang hasil rampokannya ke jalan. Warga kampung yang turun ke jalan berebut uang, sehingga menghalangi polisi yang mengejarnya.
Suatu hari, Slamet dan kawanannya disergap Tim Unit Sidik Sakti (USS) Satuan Resmob Polda Jawa Tengah. Slamet cs, yang akan beroperasi di kawasan Klaten, disergap di SPBU Pandansimping, Klaten.
Saat itu terjadi kontak tembak sekitar 15 menit. Ia bersama tiga rekannya. Jarot mati dihujani lima butir timah panas, sedangkan Subagio dan Sugeng tertangkap dengan luka tembak.
Slamet Gundul, yang mengalami luka tembak di bahu, berhasil melarikan diri dengan menumpang sepeda motor. Dikejar di Jawa Tengah, Slamet Gundul kembali lari ke Jakarta. Slamet kemudian kembali melarikan diri untuk bersembunyi di kota kelahirannya, Malang, Jawa Timur.
Namun, sepandai-pandainya Slamet melarikan diri, Slamet akhirnya juga tertangkap. Slamet terendus keberadaannya di Surabaya pada 1991. Mulanya, polisi menangkap tujuh orang terduga perampok bersenjata api di Pasar Turi.
Salah satunya bernama Supriadi alias Slamet Gundul. Tapi karena tak ada bukti, Supriadi dilepas. Ternyata, di kemudian hari, polisi baru sadar Supriadi yang sebelumnya ditangkap dan dilepas adalah Slamet Gundul.
Jajaran polisi Polrestabes Surabaya pun membentuk tim khusus untuk mengejar Slamet Gundul di Putat Jaya, Surabaya, tapi lolos. Ia memang selalu berpindah-pindah selama tinggal di Surabaya.
Tim Resmob Polrestabes Surabaya dipimpin Kapten Oerip Sugianto lalu melakukan pengintaian selama satu minggu di kawasan Moroktembangan. Baru pada 16 Juni 1991, sekitar 30 polisi melakukan pengintaian dan penyamaran di sepanjang Jalan Rajawali, Jalan Gresik, Jalan Krembangan Bhakti, dan di sekitar Pasar PPI Surabaya.
Akhirnya, setelah lebih dari satu jam, Slamet Gundul muncul, turun dari angkutan umum. Ia disergap dan ditangkap tanpa perlawanan. Slamet Gundul diperiksa di tiga wilayah kepolisian berbeda: Surabaya, Semarang, dan Jakarta.
Ia kemudian dibawa ke Jakarta dengan pesawat Cessna dengan penjagaan ketat. Setelah disidik, kasusnya disidangkan di Jakarta. Ia akhirnya mendekam di LP Cipinang, Jakarta Timur, pada akhir 1991.
"Saya merasa kejahatan saya ini biasa-biasa saja. Tapi sekarang saya sudah kapok dan tak ingin meloloskan diri lagi," ucap Slamet Gundul seperti dikutip dari Tempo edisi 29 Juni 1991.
Crime Story merupakan rubrik khusus yang mengulas kisah kriminal yang pernah terjadi di Jatim. Crime Story tayang setiap Jumat.