Kelangkaan BBM jenis solar terjadi di sejumlah SPBU mulai Surabaya hingga Banyuwangi sejak Senin (5/4/2022) malam. Hal ini membuat sejumlah truk yang kehabisan BBM terpaksa harus menginap di pom bensin.
Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo) Jateng & DIY, Bambang Widjanarko mengungkapkan, informasi kelangkaan solar ini diperoleh melalui sejumlah grup di aplikasi perpesanan. Bambang menyebut, dirinya memantau puluhan grup, di mana para pengemudi truk mengeluhkan tak menemui solar di sejumlah SPBU.
"Solar langka mulai dari Surabaya sampai ke Banyuwangi, yang ke arah barat tidak, Madiun, Kediri, Tulunggagung itu belum. Tapi yang Surabaya hingga Banyuwangi stoknya langka," kata Bambang saat dihubungi detikJatim, Selasa (5/4/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bambang menambahkan, pihaknya telah memiliki 22 WhatsApp grup dari 22 provinsi yang sudah bergabung dalam Aptrindo. Dalam obrolan tersebut, Bambang menyebut sejak semalam ramai para sopir mengeluh kesulitan mendapat stok BBM.
"Pagi ini ketika saya buka handphone ramai dari Surabaya, Pasuruan, Banyuwangi, mau tidak mau menginap dari semalam sampai pagi ini belum dapat minum (Solar) truknya. Masih belum dapat isian," imbuhnya.
Di kesempatan ini, Bambang pun meminta pemerintah berterus terang mengenai apa yang sedang terjadi. Bahkan jika perlu, pemerintah bisa mencabut subsidi solar, asalkan stok solar selalu ada.
"Jadi usulan saya, pertama, cabut saja subsidinya kalau memang mau dicabut, yang penting bagi pengguna kan bio solar harus ada. Jadi bagi masyarakat tidak terjadi kericuhan karena kelangkaan," tambah Bambang.
"Alternatif selanjutnya, jika memang pemerintah tidak mau mencabut subsidi namun tidak mau tekor lebih banyak lagi akibat kenaikan harga minyak dunia, maka pemerintah bisa saja menetapkan misalnya hanya sanggup mensubsidi Rp 2 ribu per liter saja, berarti menaikkan harga biosolar tanpa harus melepas subsidi sepenuhnya," sarannya.
Bambang menilai, hal ini lebih baik daripada pemerintah mengambil opsi mengurangi pasokan solar sehingga mempersulit masyarakat yang membutuhkan. Menurutnya, pengurangan pasokan solar merusak sistem distribusi logistik nasional.
"Truk yang notabene kendaraan AKAP dan antarpulau, kalau dibatasi BBMnya, lalu harus mengisi beberapa kali, bagaimana kalau ngisinya antre? Terus kalau muatnya barang yang tidak busuk, nggak apa. Tapi kalau muat barang seperti sayur dan buah, atau es krim, bisa-bisa sudah meleleh. Ini kan merusak sistem distribusi logistik nasional," tegas Bambang.
Untuk itu, Bambang juga menyarankan dibentuk satgas yang mengawasi peredaran BBM. Namun, Satgas ini bukan dari pihak pertamina atau orang dalam saja.
"Satgas harus terdiri dari Pertamina, pemilik SPBU, lalu dari asosiasi angkutan orang seperti bus, angkutan barang seperti truk, asosiasi nelayan dan petani, sehingga banyak yang mengawasi. Lalu ditambah kaum akademisi Masyarakat Transportasi Indonesia. Usulan kami masih begitu," pungkasnya.
(hil/fat)