Ancaman kesehatan bagi warga Surabaya kini bukan hanya datang dari polusi udara atau limbah sungai, tetapi juga dari langit. Air hujan yang turun ternyata membawa mikroplastik dalam jumlah signifikan.
Riset terbaru menunjukkan, presipitasi di berbagai titik Kota Surabaya mengandung partikel plastik mikroskopis yang dapat terhirup, tertelan, hingga masuk ke rantai makanan, memperbesar risiko penyakit serius. Temuan ini dinilai alarm berbahaya, terutama karena sumber pencemar berasal dari aktivitas masyarakat sehari-hari.
Berikut sederet faktanya:
1. Surabaya Masuk 6 Besar Kota dengan Paparan Mikroplastik Tertinggi
Surabaya berada di peringkat keenam dari 18 kota di Indonesia yang terdeteksi memiliki mikroplastik di udara, dengan tingkat kontaminasi mencapai 12 partikel/90 cm²/2 jam, sebuah angka yang menunjukkan betapa seriusnya paparan partikel plastik yang turun bersama hujan dan dapat terhirup tanpa disadari oleh masyarakat setiap kali hujan turun.
"Tingginya tingkat pencemaran mikroplastik dipengaruhi kondisi lingkungan, semisal di Pakis Gelora, menunjukkan kadar mikroplastik tinggi karena terdapat aktivitas pembakaran sampah dan lokasi yang berdekatan dengan pasar dan jalan raya," ujar Alaika Rahmatullah.
2. Pakis Gelora Jadi Titik Paling Tercemar Mikroplastik
Riset menemukan kawasan Pakis Gelora sebagai lokasi dengan pencemaran tertinggi mencapai 356 partikel per liter, disusul Tanjung Perak sebanyak 309 PM/L, angka yang mengindikasikan konsentrasi mikroplastik jauh di atas rata-rata kota besar dan menunjukkan aktivitas warga berpotensi memperparah kualitas air hujan.
"Membakar sampah plastik akan menghasilkan jenis mikroplastik fiber, dari riset sebelumnya yang dilakukan di lokasi dekat tungku pembakaran sampah di Sidoarjo, menunjukkan jenis fiber mendominasi mikroplastik di udara sekitar daerah pembakaran sampah," jelas Peneliti Ecoton, Sofi Azilan.
3. Mikroplastik Didominasi Serat Fiber dari Pembakaran Sampah
Jenis mikroplastik yang paling banyak ditemukan dalam air hujan Surabaya adalah serat atau fiber, yang umumnya berasal dari pembakaran sampah plastik terbuka, gesekan ban kendaraan, limbah laundry, dan sisa-sisa aktivitas harian masyarakat perkotaan yang kemudian terangkat ke atmosfer sebelum jatuh kembali bersama hujan.
"Ini harus menjadi warning untuk tidak membakar sampah terbuka, membuang sampah ke sungai, dan konsumsi plastik sekali pakai berlebihan," tegas Peneliti Growgreen, Shofiyah.
Simak Video "Video: Respons BMKG soal Air Hujan di Jakarta Mengandung Mikroplastik"
(irb/hil)