Kata Pakar soal Polemik Royalti Musik Ramai Dikeluhkan Pengusaha

Kata Pakar soal Polemik Royalti Musik Ramai Dikeluhkan Pengusaha

Aprilia Devi - detikJatim
Rabu, 20 Agu 2025 22:00 WIB
ilustrasi menyanyi
Ilustrasi musik (Foto: ilustrasi/thinkstock)
Surabaya -

Polemik royalti musik hingga saat ini masih ramai dikeluhkan para pengusaha. Tak hanya hotel, kafe, hingga restoran yang terdampak, bahkan beberapa perusahaan otobus (PO) bus memilih untuk menyetop musik guna menghindari penarikan royalti yang dianggap memberatkan.

Pakar hukum bisnis UM Surabaya Dedy Stansyah mengungkapkan bahwa persoalan royalti kini memang menjadi salah satu masalah yang sangat dikeluhkan oleh pelaku usaha.

"Jadi persoalan royalti ini sangat dikeluhkan oleh para pelaku usaha. Memang kalau terkait aturan hukumnya terkait hak cipta dan penarikan royalti sudah jelas ada kewajiban ketika menggunakan lagu atau musik secara komersial untuk membayar royalti kepada pencipta, namun persoalan yang muncul adalah pada implementasinya," ujar Dedy saat dihubungi detikJatim, Rabu (20/8/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya besaran tarif yang dikenakan hingga mekanisme penarikan royalti selama ini masih berpotensi menimbulkan konflik dalam penerapan kebijakan ini di lapangan.

ADVERTISEMENT

"Terkait besaran tarif dan mekanisme penarikan royaltinya yang menyebabkan ketidakpastian hukum dan berpotensi menimbulkan sengketa seperti apa yang terjadi saat ini," katanya.

Untuk itu, dirinya mendorong pemerintah lebih proaktif dalam menyelesaikan polemik royalti musik di Indonesia.

"Pemerintah yang pertama dapat memperjelas aturan terkait dengan besaran tarif dan pengecualian," katanya.

Selanjutnya pengawasan terhadap lembaga yang diamanatkan untuk menarik royalti musik juga menjadi penting.

"Pengawasan terhadap Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dapat dilakukan melalui audit rutin dan sistem pelaporan yang transparan, agar dana royalti benar-benar sampai kepada yang berhak. Atau bisa juga pemerintah membuat sistem digital dalam pengurusan kewajiban royalti secara online bagi para pelaku usaha," bebernya.

Di sisi lain, terkait para pengusaha, termasuk dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) yang mendesak soal revisi Undang-undang tentang Hak Cipta, menurut Dedy juga bisa menjadi salah satu upaya penyelesaian polemik. Namun tentu untuk revisi UU sendiri ada berbagai tahapan yang harus dilewati.

"Kalau berbicara hukum, selalu ada pembaharuan hukum. Jadi sebagai penyesuaian peraturan terhadap peristiwa-peristiwa yang terjadi saat ini yang mungkin belum diatur," pungkasnya.




(auh/abq)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads