Pimpinan Daerah (PD) Muhammadiyah Trenggalek mendukung fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang mengharamkan penggunaan sound horeg secara berlebihan. Banyak nilai positif yang bisa diambil dari fatwa tersebut.
Ketua PD Muhammadiyah Trenggalek, Wicaksono, menilai penggunaan sound system yang berlebihan sering kali mengganggu kenyamanan masyarakat, bahkan menimbulkan kemudaratan sosial. Fatwa itu menjadi sejalan dengan nilai kepatutan dan ketertiban di masyarakat.
"Kami Muhammadiyah mendukung imbauan itu karena memang banyak sisi positifnya. Kalau ditepati, tentu ada sisi keuntungannya. Tapi karena tidak punya kekuatan hukum, biasanya yang cocok akan mendukung, yang tidak cocok ya cenderung mengabaikan," kata Wicaksono, Kamis (17/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: Polda Jatim Resmi Larang Sound Horeg |
Diakui fatwa MUI Jatim hanya bersifat imbauan dan tanpa kekuatan hukum positif atau peraturan resmi negara. Meski demikian imbauan itu layak untuk diikuti dan menjadi pedoman.
"Setahu saya, fatwa MUI itu sebatas imbauan moral, tidak punya bobot hukum positif. Tapi walaupun hanya imbauan, kalau ada kesadaran hukum dan pertimbangan moral, justru bisa lebih berbobot daripada pasal-pasal hukum," imbuhnya.
Menurutnya bahwa penggunaan sound horeg sering kali dijadikan alat untuk unjuk kekuatan usaha atau hiburan yang berlebihan tanpa mengindahkan dampak terhadap lingkungan sekitar. Untuk itu, pihaknya berharap masyarakat dapat memahami atas fatwa itu dan tidak menggunakan sound system secaar berlebihan.
"Kesimpulannya satu, Muhammadiyah atas nama pribadi dan institusi mendukung fatwa yang jelas-jelas untuk kebaikan bersama," tegasnya.
Sebelumnya, MUI Jatim merilis fatwa haram penggunaan sound horeg dengan enam poin utama. Di antaranya menyebutkan bahwa penggunaan sound dengan intensitas melebihi batas wajar, apalagi disertai joget campur laki-laki dan perempuan yang membuka aurat, hukumnya haram. Adu sound yang menimbulkan kebisingan berlebihan juga dinilai haram secara mutlak karena dianggap menyia-nyiakan harta.
(dpe/abq)