Kebakaran itu diduga dipicu oleh semburan gas metana yang digunakan sebagai bahan bakar alternatif oleh warga di kawasan RT 3 RW 1, Siring Barat. Saat itu, BPLS (Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo) memanfaatkan gas metana dari semburan liar gas metana sebagai sumber energi bagi warga terdampak.
Namun nahas, malam itu api tiba-tiba membesar dan melalap tiga rumah warga. Salah satunya adalah rumah milik Purwaningsih.
"Tahun 2010 malam terjadi kebakaran di Siring Barat. Mama saya mengalami luka bakar yang serius, dan saya juga mengalami luka bakar di sekujur tubuh," ujar Devi kepada detikJatim, Rabu (28/5/2025).
Menurut Devi, mamanya mengalami luka bakar hingga 87 persen. Sementara Devi sendiri mengalami luka bakar 47 persen. Meski sempat menjalani perawatan intensif di RSUD Dr Soetomo Surabaya, kondisi sang mama tak kunjung membaik.
"Uang ganti rugi habis untuk biaya pengobatan mama. Tapi kondisinya tak kunjung sembuh hingga akhirnya meninggal pada 7 Juli 2024 tahun lalu," kenang Devi dengan mata berkaca-kaca.
Kini, Devi hidup seorang diri tanpa keluarga dan harta benda. Tak ada lagi rumah, tak ada lagi orang tua. Untuk bertahan hidup, Devi berjualan kecil-kecilan di pinggir jalan di Kelurahan Gedang, Kecamatan Porong Sidoarjo yang kini hanya menyisakan kenangan pahit.
"Saya masih trauma. Setiap kali teringat malam itu, saya menangis. Saya kehilangan segalanya," ujarnya lirih.
Semburan Lumpur Lapindo yang pertama kali muncul pada 29 Mei 2006 di area pengeboran milik PT Lapindo Brantas telah memaksa ribuan warga kehilangan tempat tinggal dan tanah mereka. Meski sudah hampir dua dekade berlalu, luka dan duka yang ditinggalkan masih terasa membekas hingga kini.
"Kami mengharapkan ada perhatian tersendiri dari Pemkab Sidoarjo bagi warga korban lumpur yang masih menderita," pungkasnya.
(auh/hil)