Namun, ini bukan sumur resapan biasa, sumur tersebut menjadi bagian dari inovasi hijau Kampung Edukasi Sampah yang kini mulai dikenal hingga luar Jawa Timur.
Di bawah terik matahari, warga dari berbagai usia tampak antusias menggali dan mengayak kompos hasil olahan sampah organik. Sumur resapan multifungsi yang biasanya hanya berfungsi menampung air hujan, kini dimanfaatkan sebagai pusat pengomposan alami berbasis komunitas.
Edi Priyanto, pegiat lingkungan sekaligus penggagas Kampung Edukasi Sampah menyebut, kunci keberhasilan program ini ada pada kolaborasi antarwarga.
"Yang kami lakukan ini bukan sekadar soal teknis bikin kompos. Ini soal membangun budaya sadar lingkungan. Kami ingin warga merasa punya peran. Dari anak-anak sampai orang tua terlibat aktif," ujar Edi kepada detikJatim.
Menurut Edi, panen kompos rutin dilakukan setiap dua hingga tiga bulan. Bahan utamanya berasal dari daun kering, ranting, dan sisa dapur rumah tangga warga yang sebelumnya telah dipilah. Semua diolah secara alami melalui proses fermentasi di dalam sumur resapan.
"Hasilnya kami pakai untuk taman warga, kebun sayur, dan media belajar anak-anak tentang daur ulang. Ini edukasi yang hidup," tambahnya.
Inovasi warga ini ternyata tak hanya berdampak di lingkungan lokal. Kampung Edukasi Sampah kini mulai dikenal secara nasional. Delegasi dari berbagai daerah seperti Bali, Jambi, hingga Kalimantan telah berkunjung ke sana untuk melakukan studi tiru.
"Kami nggak nyangka bakal sejauh ini. Tapi ya itu, kami jalanin bareng-bareng. Sederhana, tapi konsisten," kata Edi.
Saat ini, Kampung Edukasi Sampah tak hanya dikenal sebagai lokasi edukasi pengelolaan sampah berbasis warga, tetapi juga telah menjadi laboratorium sosial terbuka. Pelajar, mahasiswa, komunitas, hingga instansi pemerintah datang ke lokasi tersebut untuk belajar langsung dari lapangan.
"Kalau kita serius dan melibatkan warga, perubahan bisa dimulai dari lorong kampung," pungkas Edi.
(hil/hil)