Bunuh Diri Ancam Generasi Z, Pakar Ungkap Pemicu-Upaya Pencegahan

Bunuh Diri Ancam Generasi Z, Pakar Ungkap Pemicu-Upaya Pencegahan

Aprilia Devi - detikJatim
Minggu, 06 Okt 2024 20:35 WIB
Ilustrasi: pembunuhan, mayat, bunuh diri, garis polisi, police line
Foto: Ilustrasi/Thinkstock
Surabaya -

Dalam 2 bulan, dua kasus bunuh diri terjadi di Surabaya. Korbannya dua mahasiswa yang melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari gedung kampusnya.

Kasus pertama terjadi di Universitas Ciputra. Seorang mahasiswi berinisial SN terjun dari gedung kampus dari lantai 22 di Sambikerep, Surabaya, Rabu (18/9/2024) sekitar pukul 5.55 WIB. Adapun motifnya diduga karena masalah asmara.

Peristiwa kedua, RD mahasiswa Petra Christian University (PCU) ditemukan melompat dari lantai 12 gedung kampusnya, Selasa (1/10/2024) pukul 10.20 WIB. Dari hasil penyelidikan polisi, diduga RD bunuh diri karena dipicu depresi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Peneliti Kesehatan Mental Remaja Universitas Airlangga (Unair) Margaretha menyoroti fenomena remaja atau generasi z menjadi korban bunuh diri.

Ia mengatakan bunuh diri saat ini bukan hanya menjadi permasalahan sosial, namun juga penyakit tidak menular yang mengancam remaja di dunia.

ADVERTISEMENT

"Bunuh diri di usia muda 15-24 tahun menjadi salah satu penyebab kematian karena penyakit tidak menular yang tertinggi di urutan ketiga yang bisa membunuh orang muda di dunia. Bunuh diri ini menjadi tantangan kesehatan besar," ujar Margaretha saat dihubungi detikJatim, Minggu (6/10/2024).

Dari hasil penelitiannya bekerjasama dengan The University of Melbourne, Margaretha mengatakan hampir 4% remaja di usia sekolah melaporkan pernah melakukan upaya bunuh diri.

"Dari penelitian saya yang mengambil data Global School Health Survey 2015 menemukan data hampir 4% dari 11 ribu remaja usia sekolah melaporkan pernah berupaya bunuh diri. Itu rata-rata di Asia Tenggara," tuturnya.

Dia mengungkap ada beberapa faktor yang bisa menyebabkan munculnya upaya bunuh diri pada remaja. Pertama karena adanya perasaan kesendirian atau kesepian. Hal ini bisa jadi dipicu oleh kurangnya teman atau kurangnya persahabatan.

"Kesepian ini dapat mengarahkan kepada munculnya gangguan emosional misalnya depresi,gangguan mood, yang kalau tidak terselesaikan bisa berujung pada cara berpikir yang sangat hitam putih, depresif, dan menyebabkan berpikir mengakhiri hidup," jelasnya.

Faktor kedua yang juga memicu upaya bunuh diri adalah jika remaja sudah terlibat perilaku berisiko. Seperti penyalahgunaan narkoba maupun perilaku seks berisiko. Ini bisa memicu remaja merasa tidak berdaya atau harga dirinya berkurang, sehingga menyebabkan mereka berpikir untuk mengakhiri hidup.

"Dan faktor ketiga saat ada masalah sosial. Misalnya kurang bagus relasinya dengan orang tua atau bullying di sekolah. Dari penelitian, korban bullying punya risiko berkali lipat melakukan upaya bunuh diri. Kekerasan, penolakan ini sangat bisa mempengaruhi," ungkap Dosen Psikologi Unair.

Karena permasalahan bunuh diri pada remaja ini menjadi hal yang sangat serius, Margaretha menegaskan ada beberapa hal yang bisa dilakukan masyarakat turut mencegah risiko munculnya upaya bunuh diri pada remaja.

"Pertama sekolah atau lembaga pendidikan yang menjadi tempat orang muda menghabiskan banyak waktu di sana harus menjadi tempat yang ramah. Bukan hanya fokus akademik, namun juga menjadi ruang sosialisasi yang ramah. Sekolah harus punya kegiatan dan ruangan untuk membangun relasi positif," ujarnya.

Guru atau pendamping anak dan remaja di lembaga pendidikan bisa mengenalkan bagaimana membangun relasi secara positif. Lalu saat mengetahui terjadinya bullying dan cara mencegahnya, hingga menyelesaikan permasalahan saat ada konflik.

"Lalu di rumah orang tua perlu update kemampuan parenting. Selain kasih sayang, orang muda juga butuh pengawasan," kata Margaretha.

Terakhir di lingkungan pertemanan atau relasi di luar rumah dan sekolah, remaja dapat meningkatkan empati terhadap sesama untuk mencegah depresi hingga keinginan bunuh diri.

"Yang juga bisa disasar adalah peer (teman sebaya). Mengajak peer untuk berlatih membangun empati. Agar saat melihat orang lain menjadi korban atau terlibat permasalahan sosial mereka tahu bagaimana menyelesaikannya," pungkasnya.




(irb/fat)


Hide Ads