Satu dasawarsa lalu, tepatnya pada Rabu, 18 Juni 2014 malam, Lokalisasi Dolly resmi ditutup oleh Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini. Perjalanan panjang mengiringi penutupan lokalisasi yang telah berdiri sejak tahun 1967 itu.
Dirangkum dari berbagai pemberitaan detikcom, mimpi Risma menutup Dolly menyeruak pada tahun 2010. Saat itu, ia bersama Ketua MUI Jatim KH Abdusshomad Buchori dan Gubernur Soekarwo menghadiri acara buka puasa bersama di Komando Pendidikan TNI AL Bumimoro, Surabaya.
Kiai Abdusshomad lantas mengkritik semboyan Jatim makmur berakhlak mulia. Ia menyebut, slogan itu tak cocok dengan Jatim yang masih menjamur sarang prostitusi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Data saat itu menyebutkan, ada 47 lokalisasi dengan jumlah sekitar 1.037 muncikari dan 7.127 PSK tersebar di 33 kabupaten dan kota. Enam lokalisasi di antaranya ada di Kota Surabaya, salah satunya adalah Dolly.
Mendengar hal ini, Risma seperti mendapat sindiran keras. Awalnya, ia merasa dilematis. Jika dibiarkan, prostitusi akan bersarang kuat. Namun jika ditutup, maka akan menyebar tak terkendali.
Awalnya, Risma sempat menolak karena menganggap faktor ekonomi menjadi penyebab utama prostitusi.
Namun, wali kota perempuan pertama di Surabaya ini tak menolak mentah-mentah ide dari Soekarwo. Ia kemudian memutuskan blusukan ke berbagai tempat di kawasan Dolly. Hasilnya, Risma menjumpai banyak anak-anak yang selama ini hidup di lingkungan prostitusi.
Ia juga menemukan fakta bahwa prostitusi bukan semata-mata disebabkan oleh faktor ekonomi. Rupanya, banyak pekerja seks komersial (PSK) yang terjerumus ke lembah hitam ini sebab menjadi korban eksploitasi dari pihak-pihak tertentu. Dari situ lah tekad Risma bulat untuk menutup Dolly.
Sejak mendengar kritikan itu, Risma bertekad akan menutup semua lokalisasi di Kota Pahlawan. Salah satunya adalah Dolly yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara.
Di tahun yang sama, terbit Surat Keputusan (SK) Gubernur Jatim Nomor 460/16474/031/2010 tertanggal 30 November 2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Prostitusi serta Perdagangan Perempuan. SK ini menerangkan bahwa penutupan lokalisasi harus dilakukan secara bertahap.
Tahapan tersebut antara lain memberikan pelatihan keterampilan sesuai bakat minat PSK dan pemberian bantuan stimulan modal usaha ekonomis produktif sebesar Rp 3 juta per PSK. Selain itu, terdapat pula instruksi untuk pencegahan jumlah penghuni baru lokalisasi dan pertambahan rumah untuk kegiatan prostitusi, serta secara bertahap menutup kompleks lokalisasi tanpa merelokasinya.
Dalam sebuah kesempatan, Soekarwo menyampaikan bahwa prostitusi terjadi karena rendah dan lemahnya pemahaman keagamaan dan spiritual, serta kondisi ekonomi, pendidikan, dan kultural. Selain itu, keberadaan lokalisasi juga berbanding lurus dengan maraknya narkoba, miras, judi, penyakit menular seksual, hingga kriminalitas.
Setahun berselang, Gubernur Jatim bersama ulama, DPRD, dan pimpinan kota/kabupaten menandatangani deklarasi komitmen untuk menutup lokalisasi di Jatim tanpa relokasi. Deklarasi ini dilakukan pada Minggu (20/11/2011) dalam Musyawarah Menata Kota Bersih dari Asusila.
Terdapat tiga poin yang disepakati dalam musyawarah ini. Pertama, mengentaskan wanita tunasusila menuju kehidupan bermartabat, kemudian menolak segala bentuk perzinahan dan kemaksiatan, dan yang terakhir adalah komitmen untuk menata kota bersih dari asusila dengan cara tidak menunda penutupan tempat pelacuran.
Soekarwo juga kembali menerbitkan SK Gubernur dengan Nomor 460/15612/031/2011 pada tahun 2011 yang membahas tentang Penanganan Lokalisasi WTS di Jawa Timur. Salah satu isinya adalah imbauan bahwa Jatim harus bersih dan bebas dari praktik prostitusi serta asusila.
Dua SK tersebut juga diperkuat dengan dua landasan hukum. Antara lain, Undang-undang Perdagangan Manusia (Human Trafficking) dan Perda Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 1999 tentang larangan menggunakan bangunan atau tempat untuk perbuatan asusila serta pemikatan untuk melakukan perbuatan asusila.
Penolakan penutupan Dolly datang dari berbagai pihak, baca di halaman selanjutnya!
Dengan kekuatan hukum tersebut, Risma mulai gencar melakukan sosialisasi penutupan Dolly. Ia mengawali sosialisasinya secara resmi pada Kamis, (27/2/2014) di Mapolrestabes Surabaya. Risma kemudian melanjutkan sosialisasi ke Kodim, Korem, dan ormas-ormas keagamaan di Surabaya.
"Saya bisa saja langsung menutup Dolly, dengan dasar tidak sesuai Perda 7 tahun 1999 tentang larangan praktik prostitusi," kata Risma saat menghadiri sosialisasi penutupan Dolly di Mapolrestabes Surabaya, Kamis (27/2/2014) silam.
Namun, Risma tak mau buru-buru. Selesai dengan instansi pemerintah dan organisasi masyarakat, ia kemudian turun gunung melakukan sosialisasi kepada para PSK Dolly. Risma meyakinkan mereka, penutupan ini disertai dengan solusi, seperti pelatihan kerja dan alokasi anggaran untuk modal usaha.
"Transformasi pemahaman ini adalah, bagaimana kita bisa menunjukkan dan meyakinkan bahwa apa yang dilakukan PSK, sejatinya bukanlah pekerjaan," tutur Risma pada Kamis (13/3/2014).
Niat Risma bukan tanpa batu sandungan. Banyak pihak menolak wacana penutupan Dolly, termasuk dari Wakil Wali Kota Surabaya waktu itu, Whisnu Sakti Buana.
Menurut Whisnu, konsep recovery pascapenutupan Dolly masih belum bisa diterima sepenuhnya oleh warga. Ia meminta pemkot mengkaji ulang rencana penutupan Dolly pada tanggal 19 Juni 2014 hingga semua warganya siap.
"Pemkot harus lebih intensif lagi bertemu dengan warga sekitar dan merumuskan konsep terbaik yang saling menguntungkan," kata Wisnu, Senin (13/5/2014).
Penolakan juga datang dari mereka yang menggantungkan hidup dari lingkungan ini, seperti para pedagang kaki lima (PKL) dan pekerja wisma. Berbagai aksi unjuk rasa dilakukan untuk membatalkan penutupan Lokalisasi Dolly. Bahkan mereka telah menyatakan siap berperang jika kawasan esek-esek ini jadi ditutup.
Risma bergeming, ia tak ingin ada penundaan apalagi pembatalan. Tekadnya sudah bulat untuk menutup lokalisasi ini. Bahkan setelah bertemu dengan Mensos Salim Segaf Al Jufri, ia menyatakan penutupan Dolly akan dipercepat.
"Penutupan Dolly tidak akan diundur. Malah akan dimajukan. Insyaallah 18 Juni ini Dolly akan ditutup," kata Risma usai bertemu Salim di Jakarta pada Senin (2/6/2014).
Agar tak terjadi bentrok, Pemkot Surabaya mencoba menggembosi gelombang perlawanan dari dalam. Risma mengutus anak buahnya, Kasatpol PP Irvan Widyanto dan Kadinsos Soepomo untuk mencari pemilik Wisma Barbara, Saka Burhanuddin.
Mereka diminta membujuk Saka agar melepas wismanya dan menerima penutupan. Pemkot kala itu dikabarkan harus menggelontorkan Rp 9 miliar untuk membeli Wisma Barbara.
Negosiasi berhasil, Saka mau menjual wismanya. Kekuatan penolakan penutupan Dolly menjadi pincang. Alih fungsi kawasan tersebut tinggal menunggu waktu.
Hingga pada 18 Juni 2014, lokalisasi Dolly resmi ditutup dengan acara di Islamic Center Surabaya, yang berjarak 1,5 kilometer dari Gang Dolly. Hadir dalam acara tersebut antara lain Mensos Segaf, Gubernur Soekarwo, Wali Kota Risma, dan jajaran Forkopimda.
Salah satu kegiatan dalam acara tersebut adalah penandatanganan dan deklarasi dari 107 orang perwakilan warga yang menyatakan siap menjadikan Kelurahan Putat Jaya bersih dari prostitusi.
Sejak saat itu, usai sudah riwayat kawasan ini sebagai tempat pelacuran terbesar se-Asia Tenggara. Sekarang, wajah Gang Dolly telah berubah menjadi semakin cerah.