Sebagian besar jemaah haji Indonesia memilih melakukan haji tamattu'. Dalam ibadah ini, jemaah diwajibkan membayar dam berupa penyembelihan kambing yang kemudian dibagikan kepada fakir miskin di tanah haram (Mekkah).
Lalu apakah boleh menyembelih dam dan mendistribusikan dagingnya ke luar tanah haram? Berikut penjelasan hukumnya menurut para ulama.
Pengertian Hadyu dan Dam Haji Tamattu'
Dilansir dari laman NU Online, menurut pandangan ulama dam atau hadyu adalah hewan persembahan yang dikhususkan untuk tanah haram. Hadyu ini harus berupa hewan ternak seperti unta, sapi, atau kambing.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kewajiban menyembelih hadyu tamattu' didasarkan pada Al-Qur'an Surah Al-Baqarah ayat 196 dan merupakan kesepakatan pada fuqaha'. Penyembelihan hadyu ini dimaksudkan untuk menunaikan kewajiban haji tamattu' dan memberikan manfaat kepada orang-orang miskin di tanah haram.
Pendapat Ulama Tentang Tempat Penyembelihan
Terkait tempat penyembelihan, ada dua pendapat utama di kalangan ulama. Pendapat pertama menyatakan bahwa penyembelihan hadyu harus dilakukan di tanah haram. Pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 95 yang mengindikasikan bahwa hadyu harus dibawa ke Ka'bah.
Selain itu, riwayat yang menyatakan Nabi Muhammad saw menyembelih hadyu di Mina juga mendukung pandangan ini. Ulama yang mendukung pendapat ini menegaskan bahwa penyembelihan adalah hak yang berkaitan dengan hadyu dan harus dilakukan di tanah haram sebagai bentuk sedekah.
Pendapat kedua menyatakan bahwa hadyu boleh disembelih di luar tanah haram dengan syarat dagingnya dikirim dan dibagikan di tanah haram sebelum mengalami perubahan (rusak). Tujuannya agar daging tersebut sampai kepada orang-orang miskin di tanah haram, sehingga tujuan dari penyembelihan itu terpenuhi.
Pendapat ini menunjukkan fleksibilitas dalam pelaksanaan ibadah, terutama jika ada kendala dalam penyembelihan di tanah haram.
Pandangan Kontroversial Ath-Thabari
Ath-Thabari mengemukakan pandangan berbeda bahwa hadyu boleh disembelih di mana saja, kecuali hadyu haji qiran dan denda karena membunuh hewan buruan dalam kondisi ihram, yang harus disembelih di tanah haram. Menurut pandangan ini, dua jenis hadyu tersebut memiliki kekhususan yang mengharuskan penyembelihan di tanah haram.
Namun, pandangan ini dianggap kontroversial dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Hingga saat ini, mayoritas ulama belum menerima pandangan ini sebagai panduan umum dalam pelaksanaan ibadah haji.
Pandangan Para Ulama Tentang Distribusi Dam di Luar Tanah Haram
Menurut para ulama, ketentuan pelaksanaan dam harus dilakukan di tanah haram, begitu pula distribusi dagingnya. Pendapat ini didasarkan pada teks-teks fikih yang menjelaskan bahwa distribusi daging hadyu atau dam harus ditujukan kepada fakir miskin di tanah haram, baik yang menetap di sana maupun yang sementara berada di sana.
Qadli Husain dalam Al-Fatawi menyebutkan bahwa meskipun tidak ditemukan orang miskin di Tanah Haram, tetap tidak diperbolehkan memindahkan dam ke daerah lain. Menurut pandangan ini, dam wajib didistribusikan kepada orang miskin di tanah haram, mirip dengan hukum nazar yang harus dilaksanakan di tempat yang telah ditentukan meskipun tidak ditemukan orang miskin di sana.
Namun, ada pandangan lain dari mazhab Hanafi yang memperbolehkan distribusi daging dam ke luar Tanah Haram. Pendapat ini beralasan bahwa bersedekah adalah ibadah yang dapat dinalar dan dapat dilakukan kepada fakir miskin di mana pun.
Baca juga: Tentang Puasa Dam: Niat dan Tata Caranya |
Bolehkah Menyembelih dan Mendistribusikan Dam Haji di Luar Tanah Haram?
Masih dilansir dari sumber yang sama, hadyu atau dam memiliki pengertian iraqatud dam fil haram atau mengalirkan darah (menyembelih) di tanah haram. Mengacu dari pengertian tersebut dan pandangan mayoritas ulama, dapat disimpulkan bahwa tidak boleh menyembelih hadyu atau dam haji tamattu' di luar tanah haram (Mekkah).
Meskipun ada juga yang mengatakan bahwa proses penyembelihan boleh dilakukan di luar dengan syarat daging dikirim ke tanah haram, pandangan-pandangan tersebut masih perlu diteliti lebih lanjut agar dapat diketahui sejauh mana dapat diterima dan dipertanggungjawabkan.
Di sisi lain, terdapat dua pendapat mengenai distribusi daging hadyu atau dam ke luar Tanah Haram. Pendapat pertama melarang distribusi ke luar Tanah Haram, sedangkan pendapat kedua membolehkan dengan syarat bahwa orang miskin di luar Tanah Haram lebih membutuhkan.
Pandangan kedua dapat dijadikan pegangan apabila situasi dan kondisi menghendaki demikian, terutama untuk mengoptimalkan manfaat sosial dari dam tersebut. Dengan demikian, jamaah haji yang dihadapkan pada situasi ini memiliki pilihan untuk mempertimbangkan distribusi yang paling bermanfaat, dengan tetap mengacu pada panduan ulama dan kondisi riil di lapangan.
Pengetahuan dan pemahaman yang mendalam mengenai hukum dan ketentuan ibadah haji sangat penting bagi jamaah. Dengan pemahaman yang benar, jamaah dapat melaksanakan ibadah dengan tenang dan sah sesuai dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu, disarankan untuk selalu merujuk kepada ulama yang terpercaya dan mengikuti panduan resmi yang dikeluarkan oleh lembaga keagamaan yang berwenang.
Artikel ini ditulis oleh Albert Benjamin Febrian Purba, peserta Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.
(irb/fat)