Hari Kesadaran Epilepsi Dunia jatuh pada 26 Maret. Peringatan yang pertama kali diusung oleh Cassidy Megan pada 2008 ini dikenal dengan sebutan 'Purple Day'. Cassidy mengusung Hari Kesadaran Epilepsi Sedunia karena terinspirasi dari perjuangannya sendiri sebagai penderita epilepsi.
Dokter spesialis saraf atau neurologis Rumah Sakit Semen Gresik dr Heri Munajib SpN menjelaskan dinamika kasus epilepsi di Indonesia. Berdasarkan datanya, kasus epilepsi di Indonesia sekitar 8,5% dari 1.000 penduduk.
Menurut dr Heri, penderita epilepsi terbanyak bukan anak-anak, melainkan orang dewasa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi kalau stigma orang epilepsi banyak dari anak dan diturunkan, tidak. Justru paling banyak dari orang dewasa," kata dr Heri kepada detikJatim, Selasa (26/3/2024).
Mengubah Stigma Buruk Epilepsi
dr Heri mengatakan pekerjaan rumah alias PR bagi epilepsi adalah stigma yang berkonotasi buruk di masyarakat. Padahal epilepsi tidak diturunkan dan sama sekali bukan penyakit kutukan.
"Ada yang menganggap pasien epilepsi itu penyakit turunan dan itu kutukan, ada yang menganggap diturunkan ke anak, padahal tidak. Stigma seperti itu di masyarakat masih melekat, padahal epilepsi termasuk penyakit tertua di dunia," ujarnya.
Persepsi atau stigma di masyarakat masih banyak yang menganggap epilepsi adalah orang yang tidak normal ketika terjadi serangan kejang. Padahal, epilepsi bisa seperti manusia pada umumnya yang bisa beraktivitas normal, meraih prestasi hingga sukses dalam hal pekerjaan.
Stigma lain yang masih melekat ialah tak mau menolong dan justru menjauhi, karena takut tertular epilepsi. Masyarakat banyak menganggap cairan yang keluar dari tubuh penderita epilepsi itu menular. Sebab, saat kejang, biasanya penderita memang keluar keringat, air liur berbusa hingga mengompol.
Agar stigma terhadap epilepsi tidak terus berlarut, dr Heri memberikan wadah penderita epilepsi dalam sebuah grup atau paguyuban. Di mana, pasien tidak merasa sendiri dan perasaannya bisa tersampaikan hingga mendapat masukan dan apa saja yang harus dilakukan.
"Pada faktanya, orang epilepsi sama dengan orang normal ketika dia tidak serangan. Ada pasien bertanya, apakah pasien epilepsi bisa berprestasi? Saya bilang ada teman saya seorang dokter saat masih sekolah spesialis dia epilepsi dan bisa jadi dokter spesialis, bahkan lulusnya cepat," ungkapnya.
"Itu membuktikan bahwa seorang epilepsi pun bisa berprestasi. Banyak orang-orang besar yang mengisi sejarah dunia dan menderita epilepsi. Jadi ketika ada yang tanya apakah epilepsi bisa sukses? Bisa. Mereka tidak bodoh, bahkan mereka bisa berprestasi," tuturnya.
Penyebab Epilepsi
Anggota lembaga kesehatan PBNU ini menjelaskan epilepsi adalah penyakit yang diakibatkan oleh aktivitas listrik di otak yang meningkat. Listrik yang meningkat di dalam otak tidak bisa keluar, apa lagi sampai menulari orang lain.
dr Heri menyebut, penyebab epilepsi 50,6% itu tidak diketahui. 30% Paling banyak diketahui, di antaranya penyebab tumor, infeksi otak, tumor dan trauma kepala.
"Sisanya macam-macam, bisa karena infeksi ketika ibu hamil. Misalnya ibu hamil terinfeksi toxoplasma, rubella, cytomegalovirus, itu cenderungnya epilepsi ke anak-anak. Tapi rata-rata orang dewasa. Infeksi rubella pada orang hamil bisa menyebabkan kelainan organ, terutama organ otak. Kalau otak mengalami gangguan otomatis listrik di otak juga ikut," jelasnya.
Epilepsi Bisa Sembuh
Ada harapan bagi penderita epilepsi untuk sembuh. Ia mengatakan, penderita epilepsi yang masih belum terkontrol kejangnya, wajib minum obat.
Sampai seberapa lama? Minimal terdapat jeda kejang dua sampai tiga tahun. Selama tiga tahun, pasien tidak boleh kejang dan harus meminum obat rutin.
Setelah dua sampai tiga tahun tidak ada kejang, lalu pasien akan dianjurkan melakukan perekaman otak. Ketika rekam otak hasilnya normal, maka dosis obatnya akan diturunkan sampai tidak mengonsumsi obat sama sekali dan dinyatakan sembuh.
"Epilepsi itu bisa sembuh asal penyebabnya diketahui. Misalnya pasien stroke dan pendarahan, maka pendarahannya kita kontrol dan kalau sudah hilang pendarahannya di selaput otak, maka tidak ada kejang lagi. Atau pasien tumor, ketika masih ada tumor di kepala, setelah dioperasi ya sudah dia tidak akan kejang lagi. Epilepsi itu terjadi karena kelainan listrik di otak dan di otak sendiri ada kelainan baik itu tumor, stroke ataupun infeksi otak," urai dokter spesialis saraf yang juga berdinas di RSUD Ibnu Sina Gresik ini.
Mengalihkan Kejang ke Rasa Nyeri
Di samping pasien harus mengonsumsi obat rutin, beberapa pasien epilepsi tahu kapan dia akan mulai serangan kejang. Seperti telinga berdenging atau telinga bunyi, perut mual hingga merasa badannya lelah.
Ada pula pasien yang sadar ketika akan kejang justru mengalihkan ke rasa nyeri, salah satunya dengan mencubit pipinya sendiri. Kemudian sensasi kejang akan teralihkan ke rasa nyeri, sehingga pasien tidak jadi kejang.
"Itu cara pasien yang sudah terlatih untuk mengontrol biar tidak terjadi serangan. Jadi sensasi kejang dipindahkan ke rasa nyeri akhirnya dia tidak jadi kejang," ujar dr Heri.
"Hal itu yang sekarang sering kita ajarkan kepada pasien bagaimana cara dia mengenali ketika mau serangan sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satunya kita alih pindahkan ke rasa nyeri," pungkasnya.
(hil/iwd)