Hari Kesadaran Epilepsi Dunia jatuh pada 26 Maret. Dokter spesialis saraf atau neurologis RSUD Ibnu Sina Gresik, dr Heri Munajib SpN menyampaikan jumlah penderita dan macam-macam epilepsi.
Tidak semua penderita epilepsi mengalami kejang. Tapi ada kecenderungan penderita yang mudah marah hingga mengalami Hiperseksual dengan banyak faktor.
Dokter Heri mengatakan bahwa kasus epilepsi sebenarnya banyak. Seringkali orang juga malu berobat. Karena bukan hanya penderita, keluarga juga denial (melakukan penolakan) epilepsi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau data yang kita punya prevelensi di Indonesia 8,2% dari 1.000 penduduk. Kalau di poli saraf, ketika 1 hari praktik 50 pasien, epilepsi bisa 8-10 atau 1/5 dari jumlah pasien saraf," ujarnya.
Meski demikian, dia mengakui bahwa secara spesifik dirinya tidak memiliki data di Jatim. Termasuk data penderita yang ada di Gresik.
"Kalau Jatim, Gresik spesifik kami belum punya data. Kalau Surabaya sudah jalan, bahkan ada grup untuk penderita epilepsi, biasanya mereka akan gathering," katanya kepada detikJatim, Minggu (26/3/2023).
Dia pun menyatakan ingin menginisiasi grup pasien epilepsi seperti di Surabaya. Supaya para penderita epilepsi bisa berbagi keluhan. Karena menurutnya tidak semua pasien mau berbagi soal penyakit epilepsi.
Hal itu karena stigma tentang epilepsi di masyarakat masih sangat jelek sekali. Untuk itu dia kembali menyampaikan bahwa orang dengan epilepsi tidak melulu kejang.
Gejala epilepsi yang tidak hanya kejang
Pada kasus yang pernah dia tangani, pasien sempat diam selama 1-3 menit, setelah sadar dia tidak tahu apa yang dialami dan lupa. Saat ini pihaknya lebih banyak menjaring pasien epilepsi dengan beragam gejala.
Dokter yang juga bertugas di RS Semen Gresik ini juga mendapat dua kasus unik. Pertama, ia menerima rujukan siswi SMK dari Berau Kalimantan yang dirujuk ke RS di Surabaya.
Saat diperiksa fungsi sarafnya bagus semua, di MRI juga normal. Akhirnya pemeriksaan kelistrikan di otak dilakukan, ternyata ada kelainan kelistrikan di otak.
"Karena pada dasarnya epilepsi ini kelainan listrik di dalam otak. Dari pemeriksaan, saya menyimpulkan, pasien yang dirujuk dari Berau, keluhannya sering tiba-tiba marah tanpa bisa mengontrol. Tahu dia kalau marah tapi nggak bisa mengontrol, marahnya yang nggak lazim, sampai gebrak-gebrak meja. Selesai ya selesai tapi itu terjadi berulang," ujarnya.
Ternyata, kata dr Heri, itu adalah salah satu gejala epilepsi. Kecenderungannya tidak bisa mengontrol emosi, apalagi ketika marah.
"Akhirnya saya kasih obat selama 2 minggu dan stay Surabaya sementara. Ternyata selama 2 minggu melakukan pengobatan membaik. Biasanya sehari marah 1-3 kali, itu seminggu cuma 1 kali. Akhirnya bisa pulang dan kontrol 1 tahun lagi," jelasnya.
Kecenderungan hiperseksual, baca di halaman selanjutnya.
Penderita epilepsi yang mengalami hiperseksual
Kasus kedua juga unik, di mana pasien berjenis kelamin perempuan datang bersama suami ke poli saraf dengan keluhan hiperseksual. Kasus itu sebelumnya sudah dikonsultasikan ke psikiatri dan secara kejiwaan normal.
"Dikonsultasi ke saya, yang membawa ini suami ke-3. MRI normal, rekam otak ternyata normal. Akhirnya diberikan obat anti epilepsi dan akhirnya terkontrol. Tidak hypersex seperti sebelumnya," ujar anggota lembaga kesehatan PBNU ini.
Seksi Humas, pusat data, dan informasi dari pengurus pusat perhimpunan dokter NU ini menegaskan bahwa epilepsi tidak melulu kejang hingga keluar busa.
Banyak gejala dari penyakit ini yang selama ini ternyata belum banyak diketahui orang. Bahkan, ketika ada orang marah menurutnya bisa jadi itu adalah gejala dari epilepsi. Tinggal dilakukan pembuktian.
Apa saja macam epilepsi selain kejang? Diam, mudah marah, sampai hiperseksual. Ada orang yang epilepsinya terpicu dari indra pendengarannya atau bunyi, tapi orang lain tidak dengar, hal ini biasanya aura, bentuk epilepsi vokal.
"Pembauan tapi hilang muncul bentuknya sensoris, membau merasakan lidah, mendengar, sensori juga. Bentuknya bukan motorik. Jadi banyak yang masih misteri. Banyak. Nggak hanya kejang," katanya.
Kejang tak selalu epilepsi, tapi epilepsi bisa diiringi kejang
Dokter Heri juga memaparkan bahwa kejang itu adalah gejala akibat dari listrik yang berlebihan dari otak. Dia ibaratkan seperti listrik yang mengalami korsleting. Bentuknya banyak, bisa gerakan tubuh, bengong, kesemutan, perubahan perilaku, pingsan bahkan nyeri kepala.
Penyebabnya pun, kata Heri, cukup banyak. Bisa berupa panas, juga step yang terjadi pada anak kurang dari 5 tahun. Selain itu kejang juga bisa dialami penderita diabetes dengan gula darah tinggi di atas 400 serta trauma kepala pasca-kecelakaan, infeksi otak, tumor otak, juga stroke.
Sedangkan gejala khas epilepsi adalah kejang yang berulang tanpa penyebab yang jelas. Artinya, kata Heri, kejang pun belum tentu epilepsi, tapi epilepsi pasti diikuti dengan kejang.
Penyebab epilepsi paling sering ada 3. Pertama karena idiopatik atau belum diketahui, kedua simtomatik atau yang sudah diketahui. Serta ketiga adalah kriptogenik atau diyakini ada penyebab tapi belum diketahui.
"Misalnya ada gambar bulat 100%, penyebab epilepsi 54% tidak diketahui, 31,5% penyebab bisa trauma tumor stroke, infeksi, 14% penyebabnya genetik, dan hanya 0,5% genetik. Jadi tidak semua epilepsi diturunkan," ujarnya.
Untuk jangka panjang, jika epilepsi tidak segera ditangani pasti akan merusak otak. Bahkan penderita epilepsi bisa saja meninggal. Kalau pada anak-anak, otak akan rusak, tumbuh kembang anak menjadi terganggu. Juga bisa menyebabkan meninggal mendadak karena epilepsi.
"Meninggal karena epilepsi banyak, orang takut melihat orang kejang akhirnya dibawa ke RS. Mau nggak mau kejangnya harus dihentikan," ujarnya.
Pentingnya mengubah stigma terhadap penderita epilepsi
Di Hari Kesadaran Epilepsi ini dr Heri menyampaikan bahwa stigma epilepsi di masyarakat masih jelek. Karena banyak yang menganggap bahwa penyakit ini adalah kutukan. Padahal tidak.
Menurutnya, orang dengan epilepsi seperti orang normal jika tidak sedang terkena serangan. Juga ada stigma bahwa penderita epilepsi adalah orang yang bodoh, tidak bisa berprestasi, dan tidak pintar.
Dia meminta agar penderita yang sudah dinyatakan epilepsi tidak takut. Dia berpesan agar penderita epilepsi tidak ditinggal sendiri. Ia mengajak untuk membantu sesama karena epilepsi bisa disembuhkan, bukan penyakit kutukan, dan bukan penyakit menular.
"Kepada seluruh penderita epilepsi semangat untuk mengontrol semua triger. Tidak boleh kecapaian, kehausan, kelaparan, kurang tidur. Pola hidup harus sehat. Konsumsi obat secara rutin, jangan pernah malu kontrol berobat. Kalau ada sesuatu boleh share bersama, karena yang sakit tidak hanya satu orang, tapi banyak orang," katanya.