Lahan pertanian di Kelurahan Sanipah dan Handil Baru Darat, Kecamatan Samboja, Kabupaten Kutai Kartanegara mulai tergusur dengan berdirinya pabrik-pabrik baru. Kondisi ini diperparah dengan melambungnya harga pupuk, yang nyaris tak sebanding dengan nilai jual hasil panen lahan pertanian yang masih tersisa.
Aktivitas pertanian dipandang sebelah mata oleh anak muda, seperti hidup segan mati tak mau. Namun, para petani tak tinggal diam. Mereka memulai upaya mengenalkan pekerjaan bertani kepada generasi muda.
Upaya ini tidak mudah di tengah serbuan gaya hidup hedonisme yang mulai menjamah anak muda di wilayah pinggiran. Dari Baanjung inilah para petani berkumpul dan berjuang dengan cara mereka, memanfaatkan digitalisasi pertanian untuk menolak punah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ancaman punahnya sektor pertanian lokal di wilayah ini bukan isapan jempol belaka. Ada banyak lahan tidur dan berpotensi mudah terbakar dengan cakupan luas sekitar 6,5 hektare. Sementara sebanyak 500 kilogram timbunan jajang sawit menjadi limbah landfill kebun sawit.
Kualitas kesuburan tanah di lahan pertanian yang makin menurun membuat 12.787 liter pupuk kimia massif digunakan setiap tahun oleh petani sebagai pola tanamnya. Dengan pola tanam seperti ini saja, ternyata belum memaksimalkan hasil panen pertanian lokal.
Ini terbukti hanya 20 persen ketersediaan sayur bagi pemenuhan kebutuhan pangan. Sementara 80 persen kebutuhan pangan lokal didapatkan dari impor. Angka ini menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan impor dari Jawa dan tengkulak. Situasi yang serba sulit ini kemudian menciptakan tingginya angka pengangguran dan putusnya generasi petani.
Para tetua tak bisa tinggal diam. Mereka berdiskusi mencari akar masalah dan bagaimana solusi yang tepat berbasis potensi lokal yang tersisa. Jawabannya adalah kebaruan inovasi. Memaksimalkan pendanaan CSR dari BUMN yang beroperasi di wilayah itu, kerja bareng pun dimulai.
Perencanaan dan pendampingan, kelompok tani mengindentifikasi kebutuhan penghematan biaya produksi, peningkatan pendapatan, kebutuhan alternatif pupuk ramah lingkungan ,serta penguatan kapasitas menghadapi Ibu Kota Negara (IKN).
Menjadi pekerjaan rumah besar juga bagi mereka untuk menghapuskan gap interaksi antara golongan muda dan tua, yang satu di antara eksesnya adalah tidak adanya regenerasi petani kepada generasi milenial.
"Data dari pemerintah kabupaten, jumlah antara petani yang pensiun dengan petani mudanya itu jomplang. Petani muda hanya sekitar 10 persen dari petani tua yang sudah tidak mampu bekerja di lahan. Harus ada regenerasi supaya ada pengganti beliau-beliau itu," kata Yuliantoro, tokoh pengkader petani muda di Sanipah.
"Tapi dengan pola komunikasi atau gaya kekinian yang maju dan modern. Salah satunya saya harus pintar main game seperti mereka. Dari main game itu saya dekati anak muda dengan adu main game. Kalau saya kalah, saya yang mencuci piring dan gelas kotor mereka. Kalau mereka kalah, mereka saya suruh belajar memegang pacul dan menanam," sambungnya.
Yuliantoro mengakui pekerjaan bertani saat ini terpinggirkan dari pikiran generasi milenial. Apalagi melihat iklim bertani konservatif yang semakin tak kondusif, membuat kegiatan bercocok tanam dipandang sebelah mata oleh para pemuda.
Kalangan muda menilai bertani adalah pekerjaan orang kampung yang tidak memberi prospek masa depan cerah. Berdirinya pabrik-pabrik baru semakin membuat profesi petani ditinggalkan.
Anak muda di Sanipah bahkan punya moto "lebih baik menganggur jika tidak kerja di pabrik". Adanya pergeseran kultur pertanian ke pabrik ini juga membuat mental anak muda Sanipah lebih memilih hal yang serba instan.
Akibatnya, angka pengangguran tinggi. Sementara berdirinya pabrik beriringan dengan munculnya tempat hiburan menjadi faktor pemicu kenaikan angka tindak kriminal di Sanipah.
Dari fenomena inilah Yuliantoro yang semula sebagai pendamping desa dari Kemendes di Berau, merasa terpanggil mengembalikan Sanipah ke jati diri sebagai petani lokal. Itor, panggilan akrabnya ini kemudian memutuskan mengundurkan diri, kembali ke kampung halamannya di Sanipah untuk bertani.
Masalah Sanipah mempertemukan Itong dengan pihak-pihak yang bakal menggelontorkan CSR. Dari forum grup diskusi yang juga melibatkan beberapa warga, didapat solusi menerapkan pola pertanian terintegrasi ramah lingkungan dari hulu ke hilir dengan sistem pertakultur.
![]() |
Strategi yang digunakan adalah dengan melibatkan dan membina generasi muda serta kelompok perempuan. Pemanfaatan limbah organik dan digitalisasi pemasaran.
Dengan sistem pertakultur, petani muda belajar mendaur ulang limbah, menata lahan, menyehatkan alam, mandiri berkelanjutan dan kebersamaan manfaat. Pertakultur sejalan dengan Perda Kaltim Nomor 7 Tahun 2019 tentang Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim.
"Mereka anak-anak muda ini lahan bapaknya berhektare-hektare, tapi tidak dikelola dengan baik. Di lahan mereka inilah kami jalankan program ini dengan melibatkan anak muda langsung dan ibu-ibu mereka juga. Daripada mereka menganggur, kami ingin tunjukkan sistem ini bisa menghidupi mereka" kata Itong.
"Kami berusaha menepis anggapan kalau bertani itu nggak keren. Biar miskin asal sombong harus diubah menjadi petani itu keren dan penghasilannya lebih menjanjikan daripada kerja ikut pabrik. Kami bangun petani maju 4.0 bagi anak muda Sanipah," sambungnya.
Baca perjuangan petani Sanipah di halaman selanjutnya...
Perjuangan panjang dimulai. Dana CSR BUMN digunakan untuk pembangunan prasarana pengolahan limbah sawit menjadi pupuk cair organik dan menggunakan kemasan bekas non B-3 sebagai wadah media hidup dan pengembangan maggot.
Sharing ilmu pengembangan varietas produk pertanian juga dilakukan dengan mengajak petani Sanipah studi banding di Bumi Langit Institute Jogjakarta. Berbagai pelatihan peningkatan kapasitas diberikan dan disertai fasilitas penunjang.
Dengan tiga konsep yang dijalankan. Yakni low external input sustainable, dengan tidak tergantung semuanya dari luar daerah, pupuk tidak pernah beli, tapi dari hasil pengolahan limbah yang ada.
Kemudian zero waste, dengan menghapuskan pemakaian pupuk kimia. Ketiga, ramah lingkungan. Tak ketinggalan, pembentukan kelompok UKM dan kelompok tani wanita untuk meningkatkan swasembada pangan bagi Sanipah. Mereka mendapat ilmu deferensiasi produk dengan pengolahan hasil pertanian menjadi makanan olahan.
Saat proses berjalan, temuan baru pupuk organik mereka dapatkan. Mengambil bahan dari potensi lokal yang ada, kelompok tani ini berhasil menemukan formula baru pupuk cair organik yang diberi branding Biotasuke.
"Jadi kami maunya bikin formula pupuk cair untuk membasmi hama di cabai. Ada 15 bahan sayur dan buah yang kami padukan. Tapi begitu kami aplikasikan ke tanaman cabai, malah rumput sekitar ikut mengering. Nah ini dapat ilmu baru, nggak sengaja dapat herbisida organik," jelas Itong.
"Kami namakan Biotasuke. Bio itu kehidupan. Tasuke itu tanaman subur kembali. Alhamdulillah bisa tembus hasil panen padi 9 ton. Padahal sebelumnya bisa dapat panen 3 ton itu sudah luar biasa," sambungnya.
Inovasi-inovasi ini menjadi jawaban satu per satu masalah di pertanian lokal. Masalah limbah sampah sawit sudah mendapatkan solusi dengan dekomposer Biotasuke. Sebanyak 580 kilogram sampah organik per bulan bisa diolah menjadi 500 liter Biotasuke per bulan.
Secara ekonomis, ada penghematan biaya pupuk sampai 65 persen bagi lahan pertanian lokal. Masalah limbah bekas non B-3 terjawab dengan menjadikannya sebagai media pengembangangbiakan maggot.
Inovasi ini mampu menghemat biaya pakan ternak sampai Rp 1.500.000 per bulan. Dari 150 kilogram per bulan jajang kosong limbah sawit bisa didaur ulang menjadi 50 media tanam.
Untuk menarik perhatian dan minat anak muda Sanipah, para penggerak petani ini memfasilitasi drone. Ada 20 anak muda mendapatkan pelatihan khusus mengoperasikan drone. Alat ini dipakai untuk monitoring pertanian dan mitigasi karhutla.
Dari pemanfaatan drone ini, maka munculnya titik api dapat dideteksi sejak dini sehingga mencegah kebakaran meluas. Dengan drone ini para petani juga bisa memantau irigasi di dua lokasi, yakni Kelurahan Sanipah dan Handil Bar Darat. Selain itu, ada 49 lahan yang tertata dengan baik sehingga bisa maksimal kapasitas produksinya.
Setiap pertemuan yang membahas masalah pertanian lokal, mereka lakukan di Baanjung. Baanjung adalah sebuah rumah panggung yang didirikan di atas lahan milik Asnawi, sesepuh petani di Kelurahan Handil Baru Barat. Di sini jugalah semangat berjuang itu dikobarkan.
Asnawi mengatakan Baanjung diambil dari bahasa daerah Kalimantan yang berarti disanjung. Karena menurut Asnawi, hasil pertanian merupakan panenan keringat petani yang harus dijunjung. Dirawat dengan penuh kasih sayang dan dipasarkan dengan penuh keikhlasan.
"Bagi kami petani tua ini, pertanian pertakultur ini sangat meringankan dan menjadi solusi dari pertanian sederhana yang dulu kami jalankan puluhan tahun. Kami ajak anak-anak muda belajar bertani. Setiap ada ilmu baru, mau diapakan lahan di sana atau di sini. Mau dibuat apa lahan kandang ini untuk pertanian, kami lakukan semuanya dari Baanjung ini," ungkap Asnawi.
"Petani itu kan yang diharapkan panenannya. Nah supaya panenan, hubungan hablum minal alam, hubungan dengan alam baik, maka alam akan memberikan yang terbaik kepada manusia. Buah dan sayur harus kita tanam dengan penuh kasih sayang. Hasil panennya harus kita junjung dengan penuh penghormatan kepada alam. Ya dari sinilah, dari Baanjung inilah kami petani Sanipah menolak punah," tegasnya.
Asnawi telah merasakan manfaat sistem pertanian pertakultur. Seperti ketika Asnawi membuat kolam ikan, air kolam bisa diolah menjadi pupuk cair organik bagi tanaman sekitarnya. Lalu bunga sepatu yang dulu tumbuh liar di lahannya, sekarang bisa diolah menjadi sirup yang punya nilai jual tinggi.
Pendampingan dan fasilitasi PHM berjalan dari hulu sampai ke hilir. Dari proses menanam, perawatan, sampai jalur buang penyerapan hasil pertanian.
Jika dulu hasil panen buah pepaya hanya dikirim ke pasar tradisional. Dan, ketika pasar penuh stok pepaya, otomatis hasil panen dibawa kembali pulang dan dibiarkan membusuk dengan sendirinya. Namun, setelah memasarkan hasil panenan secara online sejak 2017, hasil panen para petani juga diserap perusahaan untuk katering karyawannya.
"Yang menguntungkan lagi, bertani sekarang nggak usah beli pupuk mahal lagi. Kami olah sendiri sampah organik yang ada untuk menyuburkan tanaman-tanaman kami. Dulu satu karung pupuk kimia untuk pepaya harganya sudah Rp 600.000 isi 50 kilogram. Satu pohon kami pakai setengah kilogram pupuk kimia itu. Nah sekarang kalau punya ratusan pohon, tinggal dihitung saja berapa juta uang yang harus kami belanjakan untuk beli pupuk saja dalam waktu tiga bulan sekali," terangnya.
"Kalau sekarang, pakai pupuk kandang kami beli satu karung hanya Rp 15.000. Nanti kami aduk sama pupuk kompos bisa jadi lima karung. Biaya menanam jadi turun sampai 80 persen. Dan hasil pertaniannya lebih bagus, harga juga lebih mahal. Apalagi kalau masuk katering Pertamina, sayur dan buah harus bebas pupuk kimia," papar pria berusia 57 tahun ini.
Bicara soal keuntungan, dengan bangga Asnawi mengatakan sistem pertakultur ini membuatnya makin yakin mengajak anak muda kembali bertani. Selain biaya tanam turun sampai 80 persen, Asnawi juga mengaku mendapatkan keuntungan tiga kali lipat dari penjualan sebelum menerapkan sistem ini.
Karena pepaya yang ditanam tanpa pupuk kimia harganya jauh lebih tinggi daripada pepaya yang ditanam dengan pupuk kimia. Pepaya hasil tanam organik bisa dihargai Rp 8.000 per kilogram. Sedangkan pepaya non organik harganya hanya Rp 5000 per buah.
Kemudian jika dilihat dari ketahanan hasil panenan, pepaya non organik hanya bisa bertahan satu pekan. Tapi dengan pertanian organik bisa bertahan sampai dua pekan. Soal rasa, pepaya organik manisnya juga lebih meresap sampai ke lapisan daging paling dalam.
Sedangkan pepaya non organik, biasanya rasa manis yang terasa di permukaan daging buah saja. Produkivitas pohon juga lebih meningkat sampai tiga kali panen. Buah pepaya bergantian bisa dipanen karena masaknya tidak bersamaan.
Baanjung saat ini menjadi pusat para petani mencari dan berbagi ilmu. Tak hanya untuk komunitas mereka, namun juga terbuka lebar bagi siapapun yang ingin belajar lebih dalam soal pertakultur bisa datang setiap waktu.
Lahan Asnawi ditanami beragam jenis buah dan sayur yang mungkin tak pernah dijumpai ketika makan buahnya. Selain itu, pengunjung juga bisa melihat langsung pertanian yang terintegrasi dengan peternakan angsa, ayam, dan ikan.
Baanjung menjadi kawah candradimuka petani Sanipah dan Handil Darat Baru untuk meregenerasi kadernya. Mencetak petani maju 4.0 yang mandiri dan mencapai swasembada pangan. Serta semangat berjuang menolak punah.
Pendekatan persuatif dilakukan para petani senior kepada anak muda dengan memanfaatkan teknologi kekinian sesuai zamannya. Digitalisasi marketing diperkenalkan dan membuahkan hasil, ibu-ibu bisa menjual hasil olahan makanannya secara online.
![]() |
Dari aplikasi 1st Tanam Digital di Kabupaten Kutai Kertanegara, sudah sebanyak 178 pengguna aplikasi. Lalu, 200 produk olahan dan 400 kilogram lebih buah dan sayur yang terjual serta mendatangkan penghasilan rata-rata Rp 2,5 juta/orang/bulan.
"Dari program CSR itu kami diharapkan mandiri. Makanya kami ajak ibu-ibu untuk terlibat langsung melalui Kelompok Wanita Tani (KWT). Kelompok inilah yang membuat bibit sendiri seperti cabai, sawi, dan sayuran lainnya. Selama ini bibit kan kami masih minta," katanya.
"Anak-anak muda kami ajak nanam di sini. Ada beberapa anak yatim yang membantu di sini. Nanti uang dari sini mereka pakai bayar sekolah. Saya juga ajak anak-anak muda di sini kembali jadi petani. Saya kasih mereka lahan, bibit tanaman dan cara mengolah pupuk organiknya sekalian. Hasilnya nanti bukan buat saya, tapi buat mereka nikmati. Biar mereka merasakan sendiri hasil bertani maju 4.0 seperti apa," lanjutnya.
"Di Baajung kami juga sediakan ada 75 pohon buah yang bisa dilihat langsung oleh pengunjung. Jadi mereka yang suka makan buah cherry misalnya, tapi tidak pernah melihat pohonnya seperti apa, bisa melihatnya di sini. Baanjung ini kami harapkan jadi pusatnya ilmu pengetahuan soal tanam menanam," begitu harapan besar Asnawi.
Baca respons anak muda Sanipah di halaman selanjutnya...
Bagaimana respons anak muda Sanipah dengan Program Tani Maju? Meski jauh panggang dari api, setidaknya perjuangan ini telah dimulai. Dari 22 anak muda yang mendapat pelatihan dan pendampingan, hanya tersisa dua orang. Namun semangat mereka untuk terus menimba ilmu patut diapresiasi.
Tak hanya oleh petani senior, namun semesta pun melakukannya. Hasil pertanian mereka melampaui ekspektasi. Bahkan, dua petani muda ini bisa dengan bangga menunjukkan bahwa penghasilan dari bertani jauh lebih tinggi daripada menjadi buruh di pabrik yang mengelilingi desa ini.
Inilah cerita sosok Ishakil Efendi, petani muda yang masih berusia 18 tahun, yang mampu membiaya kuliahnya di Jurusan Ekonomi STEIS Al Arsyadi Kalimantan Timur.
"Saya punya moto bertani ilmiah namun alamiah. Sejak SMA saya tertarik untuk bertani. Apalagi waktu pandemi Corona itu sekolah kami online. Butuh biaya untuk beli paket data, beli pulsa kan. Nah saya bicara sama Abang Itong, gimana caranya saya mendapat uang tanpa merepotkan mamak saya. Abang mengajak saya ke Baanjung buat belajar menanam. Hasil panennya bisa buat kita, nggak usah ngerepotin orang tua, mereka nggak selalu ada uang kan," tutur Hakil.
"Apalagi masa COVID-19 ini banyak pengurangan tenaga kerja. Nah dengan bertani ini saya mulai belajar mandiri secara ekonomi. Saya nanam kangkung, sawi, bawang merah, bawang putih, dan pakcoy. Semua organik tanpa pupuk kimia sama sekali. Sawi biasa jualnya Rp 5.000 seikat. Tapi sawi organik ini saya bisa jual Rp 25.000 seikat. Jadi bertani ini saya nunggu aja, kapan jadi uangnya, kapan jadi uangnya," sambungnya sambail tertawa lebar.
Baca juga: Banyuwangi Disebut Lumbung Jagung Jawa Timur |
Bisa dikalkulasi berapa penghasilan Ishakil dalam sebulan. Di lahan seluas hektare yang ditanami beragam sayur, bertanam organik ini mampu mendapatkan hasil panen dua kali dalam sebulan. Untuk panen kangkung saja, Ishakil bisa mengirimkan sebanyak 15 kilogram ke Balikpapan.
Belum lagi jenis sayuran lain yang merupakan pesanan khusus dari pelanggan di Balikpapan. Ke depan, Ishakil berencana mengemas sayuran hasil panennya dengan branding tertentu. Dia juga punya mimpi besar menjadikan pertanian ini sebagai ladang penghasilan yang menjanjikan bagi masa depannya.
"Ngapain kerja ikut orang, sementara ladang kita nganggur nggak digunakan. Kerja di pabrik itu paling dapat gaji nggak sampai Rp 3 juta. Nah kalau bertani, sekali panen saja saya dapat bawa pulang uang Rp 15 juta. Bisa jadi bos di lahan sendiri. Tapi ya emang begitu, harus berani berpanas-panasan. Tapi seimbang dengan hasil panennya. Adem kalau lihat uang hasil panennnya," akunya bangga.
Jika Ishakil bisa dibilang sudah mandiri secara ekonomi, berbeda cerita dengan Muhammad Irsyad Ammaridho. Pelajar kelas 2 SMA ini merupakan anak pertama dari pasutri yang bekerja sebagai tenaga keamanan di pabrik. Dia bekerja di lahan Asnawi di sela waktunya belajar di sekolah.
Jika masa libur, Ridho bisa bekerja selama 8 jam dengan bayaran Rp 100 ribu per hari. Namun jika waktu efektif sekolah, anak sulung ini bekerja setengah hari dengan bayaran Rp 50 ribu per hari.
Bagi Ridho, bertani itu kegiatan yang seru bisa menyatu dengan alam. Sejak bergabung menjadi petani muda, Ridho tidak pernah minta uang jajan kepada orang tuanya.
"Saya dulu anak rumahan. Tapi lama-kelamaan saya mikir, masak cowok nggak punya penghasilan sendiri. Minta uang jajan orang tua melulu. Saya jadi malu sendiri, makanya saya datang ke Pak Haji Asnawi minta kerja di sini. Saya juga posting kegiatan di Baanjung ini di media sosial. Memperkenalkan Baanjung ini kalau ada yang mau jadi Petani Muda 4.0 bisa belajar di sini," ungkapnya.
"Saya ajak teman-teman saya sebenarnya. Tapi mereka menolak karena gengsi. Padahal saya jadi petani tetap bisa bergaul sama mereka. Nggak di-bully juga. Saya coba ubah mindset mereka, kalau bertani itu tidak seperti anggapan mereka selama ini. Ya mereka sih responnya hanya keren, keren gitu. Tapi belum mau gabung juga, mungkin bertahap nanti kalau sudah lihat saya sukses seperti Kak Ishakil," sambung Ridho.
Begitulah rona warna pilihan yang terjadi di setiap babak perjuangan. Ada yang mundur teratur sebelum berperang. Namun banyak juga yang menabuh genderang kobarkan semangat tak pantang menyerah pada zaman. Industri boleh masuk negeri ini. Namun ketahanan pangan lebih baik diperjuangkan warga sekitar.
Bertani dengan kemajuan teknologi menjadi tantangan zaman di era milenial ini. Program Tani Maju 4.0 yang diluncurkan sudah memberikan dampak positif bagi petani sekitar, alam, dan ada corporate social value-nya yang didapat.
Bagi petani, ada penghematan biaya tanam sebanyak Rp 2,4 juta/lahan/tanam. Penghematan biaya irigasi sampai Rp 1,5 juta/tahun. Ada penghasilan petani muda Rp 2,5 juta/zona/tanam. Pendapatan kelompok dari deplot bisa mencapai Rp 3,2 juta/kelompok/tahun.
Kemudian juga ada pendapatan perempuan melalui KWT sebanyak Rp 2,8 juta/orang/bulan. Sedangkan kebaikan untuk alam, pengolahan limbah mampu mengurangi kadar karbon stok biomasa sebanyak 91,62 ton CO2/tahun.
Serta 500 liter penggunaan dekomposer BioTasuke/bulan yang dikelola Taruna Tani Bumi Seraiwangi, Sanipah. Dan, pengurangan emisi GRK CH4 dari limbah perkebunan yang meningkat signifikan sejak tahun 2021.
Dari angka 163,6 kg CH4/ tahun di 2020, menjadi 259,2 Kg CH4/tahun pada 2021. Di mana pada 2019, ada sebanyak 36 kasus kebakaran lahan dan 2021 hanya terjadi lima kasus kebakaran lahan.
Perjuangan ini masih panjang, namun hendaknya petani maju memegang prinsip berdamai dan menyayangi alam. Seperti Asnawi bilang, jika kita baik kepada alam, maka alam pun memberikan kebaikannya kepada manusia.