Produk pertanian organik berpeluang pasar yang besar, baik untuk ekspor ke Eropa dan Amerika Serikat maupun pasar dalam negeri. Puluhan petani muda dari 9 provinsi pun mulai diberdayakan untuk menggarap peluang tersebut.
Pemberdayaan puluhan petani milenial dimulai dengan pelatihan selama 4 hari di Vila Narwastu, Desa Claket, Pacet, Kabupaten Mojokerto. Pelatihan berkonsep organic youth camp (OYC) yang diinisiasi Aliansi Organis Indonesia (AOI) ini diikuti 26 petani muda usia 20-35 tahun dari 9 provinsi.
Mereka datang dari Sumut, Jabar, Jateng, Yogyakarta, Jatim, Kalbar, Sulteng, Sulsel, dan NTT. Selama OYC, 21-24 Februari, para petani milenial mengikuti rangkaian materi pertanian organik, praktik dan kunjungan lapangan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tujuannya para petani muda mempunyai pengetahuan tentang pertanian organik, kesadaran akan krisis iklim dan kemampuan berinovasi mengembangkan bisnis pertanian organik. Harapan kami, mereka dapat menerapkan dan menularkan semangat pertanian organik di daerah masing-masing," kata Direktur AOI Pius Mulyono, Rabu (22/2/2023).
Para petani organik, akademisi, praktisi, pengusaha dan aktivis organik menjadi narasumber pelatihan ini. Kabupaten Mojokerto dipilih menjadi tempat OYC salah satunya karena mempunyai banyak petani organik. Antara lain Brenjonk, Wehasta dan Twelve's Organic.
Tidak hanya itu, pertanian organik juga selaras dengan program Bupati Mojokerto Ikfina Fahmawati. Yaitu pertanian yang menghasilkan produk sehat dan aman dikonsumsi masyarakat, serta lahan pertanian dan para petaninya sehat karena terhindar dari pupuk maupun pestisida kimia.
"Pemkab Mojokerto mempunyai komitmen yang cukup tinggi terhadap pertanian organik. Ini jawaban atas persoalan para petani yang tergantung pada benih, pupuk dan pestisida kimia yang harus beli," terang Pius.
Selain mendapatkan ilmu, lanjut Pius, puluhan petani muda tersebut otomatis masuk dalam jejaring pertanian organik di Indonesia. Mereka digadang-gadang menjadi generasi baru untuk menggarap peluang pasar yang sangat besar untuk produk pertanian organik. Baik pasar ekspor maupun dalam negeri. Sehingga bekerja di sektor pertanian tak akan kalah dengan sektor industri maupun jasa.
"Pasar ekspor sangat terbuka ke hampir semua negara Eropa dan Amerika tentunya dengan standar organik masing-masing negara. AOI memastikan para petani bisa memenuhi standar pasar ekspor. Yang sudah ekspor ada gula semut, kakao dan kopi. Kalau sayur, beras, buah masih sangat kurang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, khususnya di kota-kota besar," jelasnya.
Para petani organik milenial juga diharapkan mampu mengubah mindset pertanian konvensional di Indonesia yang didominasi petani usia 50-70 tahun. Angka pertani tua mencapai 75 persen. Sedangkan data BPS tahun 2021 menunjukkan hanya 19,18 persen pemuda bekerja di sektor pertanian.
Seperti diketahui mayoritas petani terlanjur bergantung pada benih, serta pupuk dan pestisida kimia yang harus mereka beli. Karena pupuk dan pestisida kimia menunjukkan efek yang instan terhadap tanaman. Padahal, penggunaan bahan kimia justru merusak tanah dan berbahaya bagi kesehatan.
"Dalam pertanian organik, petani membuat benih, pupuk dan pestisida nabati sendiri. Ujung-ujungnya membuat petani sejahtera. Selain itu, konsep pemupukan harus diubah, bukan memupuk tanaman, tapi memupuk tanahnya. Pupuk kimia membuat tanaman hijau, tapi tanahnya keras. Beda kalau kesuburan tanahnya dipulihkan, ditanami apapun pasti tumbuhnya bagus," ujar Pius.
Petani organik dari Wehasta Mojokerto, Cak Toko sempat membagikan pengalamannya. Menurutnya memang tidak mudah mengubah mindset para petani yang terlanjur bergantung pada pupuk dan pestisida kimia. Terlebih lagi pertanian organik butuh waktu cukup lama untuk mencapai hasil panen yang maksimal.
"Memang di awal, produktivitasnya (pertanian organik) agak menurun, sekitar 20 persen dibandingkan pertanian konvensional. Karena nutrisi tanah belum pulih sepenuhnya. Pengalaman saya butuh 3 tahun sampai tanah pulih dan hasilnya sama dengan pertanian konvensional," ungkapnya.
Namun, turunnya hasil panen di masa awal peralihan ke pertanian organik bisa ditutup dengan harga panen yang lebih tinggi. Selain itu, biaya tanam dan perawatan tanaman menjadi lebih rendah karena petani organik tak perlu membeli pupuk maupun pestisida kimia. Pupuk kandang atau kompos dan pestisida nabati sebagai gantinya.
"Apalagi kalau di setiap desa ada pengolahan sampah untuk pupuk kompos untuk memenuhi kebutuhan para petani organik," tandasnya.
(hil/fat)