Menurutnya, hingga saat ini belum ada laporan resmi ke ombudsman terkait masalah ini. Namun, pihaknya menilai pungutan sekolah tersebut dikemas dalam bentuk sumbangan.
"Kami belum menjadikan kasus sumbangan, walaupun itu sebenarnya pungutan yang dikemas dalam bentuk sumbangan. Belum masuk laporan ke ombudsman secara resmi," tutur Agus kepada wartawan, Senin (2/10/2023).
Agus menambahkan, sebelum ada penggalangan dana, sekolah harus melalui mekanisme rapat komite. Pun perlu diuji Permendiknas.
"Di permendiknas itu penggalangan dana tidak boleh ditentukan dulu nominalnya, kalau sudah ditentukan nominalnya, jelas-jelas pungutan," terang Agus.
Menurutnya, penggalangan dana tidak boleh ditentukan nominalnya. Sebab, sejatinya sumbangan tak boleh ada batas minimalnya.
"Namanya sumbangan tidak ada batas minimal, tidak ada batas waktu untuk menyetorkan dan tidak bersifat paksaan. Apalagi ditentukan nominal dan waktu sekian dan ada semacam paksaan, membuka peluang untuk tidak keberatan, bukan sumbangan," papar Agus.
Agus menilai tanpa adanya pembuktian, kejadian ini sudah disebut maladministrasi. Sebab, SMP masuk pendidikan dasar wajib belajar 9 tahun.
"Wajib belajar 9 tahun itu sudah di-cover negara, baik dari Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bosda yang disalurkan dari Pemkab atau Pemda," beber Agus.
Selain itu, Agus mengatakan, jika ada kekurangan dana yang masuk dalam Rencana Kerja Sekolah (RKS), bisa dibicarakan dalam forum rapat komite dan tidak boleh diputuskan nominal dan tanggal atau tenggat waktu.
"Intinya kami minta agar dihentikan penggalangan dana bersifat sumbangan, intinya pungutan dibalut sumbangan," tukas Agus.
(hil/dte)