Ngalam Mbois: Nasai, Pegiat Seni yang Getol Lestarikan Topeng Malangan

Ngalam Mbois: Nasai, Pegiat Seni yang Getol Lestarikan Topeng Malangan

M Bagus Ibrahim - detikJatim
Senin, 18 Sep 2023 13:51 WIB
Muhammad Nasai dengan membawa topeng malangan
Muhammad Nasai dengan membawa topeng malangan (Foto: M Bagus Ibrahim/detikJatim)
Malang -

Topeng malangan merupakan kesenian asli Malang yang tak banyak diketahui masyarakat. Namun, di tangan Muhammad Nasai, kesenian ini terus dilestarikan.

Nasai merupakan salah satu pegiat seni yang berupaya untuk mempertahankan eksistensi topeng malangan. Warga Cemorokandang, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang ini mulai tertarik dengan budaya topeng malangan sejak ia merantau ke Yogyakarta pada tahun 2015.

Nasai yang ketika itu berprofesi sebagai fotografer budaya, melihat banyak seni budaya yang kaya di Yogyakarta. Dari situ, ia teringat jika di kampung halamannya pasti punya kekayaan budaya yang tidak kalah menarik.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ketika pulang ke kampung halaman, dia teringat dengan topeng malangan dan kemudian mencoba untuk mencari tahu lebih jauh soal kebudayaan ini.

"Saya cari-cari informasi, mulai dari satu pegiat budaya ke pegiat budaya yang lain. Ternyata pegiat topeng malangan yang selama ini dikenal hanya di Pakisaji itu, di daerah lain juga banyak," ujarnya kepada detikJatim, Senin (18/9/2023).

ADVERTISEMENT

Setelah melakukan penelusuran cukup lama, Nasai berhasil menemukan seluruh pegiat topeng Malangan se-Malang Raya. Kelompok ini yang disebutnya grup topeng malangan.

Setiap grup yang ditemuinya, biasanya terdiri dari perajin topeng, penari topeng, pengrawit (karawitan) topeng hingga wiyogo (penabuh gamelan). Namun, kondisi tiap grup berbeda-beda. Ada yang punya banyak penari tapi kekurangan pengrawit, ada yang punya Wiyogo tapi kekurangan pengrawit, begitu sebaliknya.

"Sejauh yang saya ketahui, ada 10 grup topeng malangan yang aktif di Malang Raya. Mulai dari Desa Jabung, Desa Glagah Dowo, Desa Tumpang, Desa Pakisaji, Desa Lowok," kata Nasai.

"Terus Desa Kranggan, Desa Piji Ombo, Desa Jambuwer, Desa Senggreng, Desa Jatiguwi. Plus Desa Kalipare itu masih perlu regenerasi. Pakisaji itu yang lengkap, jadi kalau mau bikin acara yang 'gebyar' bisa," sambungnya.

Selama berkeliling dari grup satu ke grup lain, Nasai juga berupaya membentuk sebuah jejaring dan silaturahmi antara pecinta topeng kesenian dari satu desa ke desa lain. Mengingat, sebelumnya para pegiat seni dari satu desa ke desa lain tidak terintegrasi.

Selama perjalanan, Nasai juga berhasil membantu mendaftarkan beberapa pegiat topeng untuk memiliki Hak Kekayaan Intelektual (HAKI).

"Jadi waktu itu ada dua yaitu Mbah Parjo, sesepuh Desa Jabung dan di Desa Glagah Dowo Tumpang yang berhasil mendaftarkan HAKI. Termasuk KIS dan BPJS. Ya tanpa lelah, senang saja. Karena mereka itu lah yang berjasa pada desanya, daerahnya dan bangsanya dalam bidang budaya," ungkapnya.

Selama mengulik soal topeng malangan, Nasai mengaku memang tidak mudah. Apalagi untuk biaya yang digunakan untuk berkeliling selama ini, berasal dari kantongnya sendiri. Meski begitu, dia tidak pernah mempermasalahkan biaya itu karena kecintaannya terhadap topeng malangan.

"Kalau urusan makan, saya kuat mulai pagi sampai malam. Tapi kalau bensin, itu dari Jabung ke Tumpang terus ke Pakisaji itu sehari bisa Rp 50 ribu sendiri sehari. Kadang pusing juga, tapi namanya cinta ya bagaimana lagi. Saya ikhlas membantu, tidak mencari untung. Buntung yang iya," ungkapnya.

Setelah kini antargrup topeng Malangan sudah mulai terjejaring. Ia berkeinginan untuk mengadakan sebuah pagelaran yang diikuti oleh seluruh pegiat topeng Malangan se-Malang Raya.

Lalu, dihadirkan juga pemerintah supaya jejaring ini makin kuat dan para pegiat bisa mendapatkan apresiasi. Ia berharap topeng Malangan ini bisa terus lestari dan terus dikenal secara meluas hingga mancanegara.

"Selama ini orang kenalnya di Pakisaji, padahal di Malang ini banyak. Paling tidak harus diregenerasikan dan diwariskan," tandasnya.




(hil/dte)


Hide Ads