"Penyebab stunting ada tiga, itu jelas. Pertama sub optimal health atau sakit - sakitan. Sering mencret, demam dan TBC. Yang kedua itu sub optimal nutrition, balita tidak disusui," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo kepada wartawan usai membuka acara Program Edukasi dan Intervensi Stunting di Kampung Coklat, Kabupaten Blitar, Selasa (22/8/2023).
Hasto menyebut hingga kini masih ada sejumlah balita yang tidak mendapat ASI secara maksimal dari ibunya. Itu karena sang ibu sibuk bekerja atau fokus dengan pekerjaan. Selain itu, ada sekitar 65 persen ibu yang tidak bisa memberikan ASI dengan alasan tidak keluar air susunya.
"Kemudian yang ketiga itu, sub optimal asuhan/parenting, banyak anak yang dititipkan kepada orang lain. Sehingga anak balita tidak mendapat perhatian yang cukup," terangnya.
Menurut Hasto, stunting tidak cukup dengan penanganan tapi juga dengan pencegahan. Salah satunya dengan deteksi dini calon pengantin dan ibu hamil terbebas dari anemia (Kurang darah). Lingkar lengan juga menjadi perhatian kepada calon ibu hamil.
Umumnya balita stunting lahir dengan panjang badan 48-49 cm, sedangkan berat badan kurang dari 2,5 kg. Balita dengan stunting harus mendapat perhatian khusus. Termasuk pemberian ASI secara eksklusif dan makanan pendamping ASI yang cukup dan bergizi.
"Untuk itu kami juga mendukung adanya produk - produk herbal yang melancarkan ASI para ibu balita. Sehingga dapat mencukupi kebutuhan ASI pada balita," imbuhnya.
Saat ini, jelas dia, angka stunting mengalami penurunan dibanding sebelumnya. Angka stunting saat ini mencapai 21,6 persen dari yang sebelumnya 24,8 persen. Penurunan angka stunting 2,8 persen ini menjadi acuan pemerintah untuk terus menurunkan angka stunting hingga akhir 2024.
"Kalau angka stunting ini terus menurun 3 persen setiap semester, target kita 14 persen stunting di akhir 2024 bisa tercapai," tandasnya.
(hil/fat)