Kepala Dinkes Kota Blitar Dharma Setiawan mengatakan kenaikan angka stunting terjadi pada semester pertama tahun 2022, yakni 5,8 persen atau sekitar 460 balita. Pada semester kedua, sempat terjadi penurunan tetapi kembali naik pada awal 2023.
"Untuk saat ini memang mengalami peningkatan, tapi cukup terkendali. Untuk prevelesinya sekitar 5,8 - 6 persen. Sedangkan target umum (Indonesia) 2024 itu maksimal 14 persen," terangnya kepada detikJatim, Senin (14/8/2023).
Dharma menyebut ada banyak faktor yang mempengaruhi angka stunting meningkat. Salah satunya yakni, masih ada ibu bayi yang mengalami anemia. Deteksi dini pada calon ibu pun dilakukan untuk mencegah balita yang lahir stunting.
"Yang penting itu early deteksi kepada ibu hamil atau remaja putri agar tidak anemia. Kemudian juga deteksi stunting itu setelah bayi usia 2 tahun, karena tinggi badan yang dinilai," jelasnya.
Saat ini, kata Dharma, jumlah balita yang datang ke Posyandu lebih banyak dibanding saat pandemi COVID-19. Hal itu mempermudah para kader posyandu untuk mendeteksi balita dengan stunting.
"Kader Posyandu di Kota Blitar sudah menggunakan alat antropometri (Pendeteksi stunting), dan ini ternyata lebih akurat," imbuhnya.
Alat antropometri digunakan kader posyandu untuk mengukur status gizi balita. Termasuk tinggi badan, panjang badan, dan berat badan. Nantinya data tersebut akan masuk dalam sistem aplikasi, dan secara otomatis akan diklasifikasikan apakah stunting atau tidak.
Dharma menyebut deteksi pada balita stunting lebih sulit dibandingkan dengan gizi buruk. Itu karena stunting dapat diketahui setelah balita usia 2 tahun.
"Nah di Kota Blitar, meskipun balita ini stunting tapi tidak kurang gizi. Karena berat badan dan usia normal sedangkan tinggi badan dan usia tidak, nah ini masuk stunting," pungkasnya.
(hil/fat)