Desa Sumput di Sidoarjo tidak ujug-ujug jadi Kampung Sangkal Putung yang terkenal seperti sekarang. Mayoritas 'bengkel tulang' yang ada di Desa Sumput merupakan usaha turun-temurun dari beberapa generasi.
Saat detikJatim menilik Kampung Sangkal Putung, Senin (10/4/2023) siang, suasananya memang agak sedikit lengang. Maklum, di tengah bulan suci Ramadhan, pengunjung yang datang berobat cenderung menurun.
Beberapa rumah yang tampak terpasang plakat 'ahli tulang'. Ada rumah yang bekerja sama dengan dokter dan membuka klinik. Rumah yang sejenis ini biasanya mematok tarif tertentu dengan dilengkapi beragam fasilitas mulai pengobatan hingga penginapan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kebanyakan rumah yang membuka usaha sangkal putung masih menerapkan cara tradisional. Yang seperti ini tak ada tarif yang dipatok. Cukup bayar seikhlasnya sesuai isi kantong.
Dua di antara penerus usaha sangkal putung yang cukup punya nama di Desa Sumput adalah Hj. Robi'ah dan Kartini. Keduanya masih dalam satu garis turunan keluarga besar. Tepatnya, mereka adalah saudara sepupu.
Hj. Robi'ah dan Kartini membuka praktik sangkal putung sudah selama 30 tahun. Selama itu, mereka tak pernah mematok tarif kepada pasien yang datang. Mereka yang datang berobat diminta membayar seikhlasnya sesuai dengan kemampuan masing-masing.
"Dulu awal itu dimulai dari Mbah Kalimah (kakek), terus waktu meninggal dilanjutkan Abah (ayah Hj. Robiah). Kalau sekarang yang buka sangkal putung ada juga Dik Fatimah," jelas Hj. Robi'ah.
Hj. Robi'ah sendiri tak pernah memasang iklan atau promosi. Anehnya, pasien yang datang tetap saja ramai.
"Nggak tentu sih jumlah pasiennya. Bisa sehari ramai banget, bisa biasa saja. Pernah juga ada yang datang jauh-jauh dari Jakarta buat berobat, itu mereka sampai bikin janji dulu ke sini," tambah Hj. Robi'ah.
Sementara, Kartini mengungkapkan alasan kenapa dirinya tak mematok tarif. Perempuan yang akrab disapa BU Kartini itu mengatakan tak mau membuat orang yang sakit malah jadi lebih susah karena mahalnya biaya berobat. Sebab, dia sendiri pernah mengalaminya.
"Saya ini ingat rasanya waktu susah, gimana susahnya cari uang untuk berobat. Makanya nggak pernah matok harga buat pasien. Bayar aja seikhlasnya, saya pasti bantu sebaik mungkin sampai sembuh," jelas Bu Kartini.
Menurut Bu Kartini, dirinya tidak terlalu menargetkan usahanya untuk selalu laris. Prinsipnya adalah selama masih cukup untuk kebutuhan sehari-hari, dia sudah cukup bersyukur.
"Saya nggak muluk-muluk orangnya. Kalau ada yang datang, ya saya bantu pijat. Kalau nggak, ya berarti memang belum rezeki lagi," katanya.
"Toh, saya juga ikhlas menjalaninya. Yang paling penting menurut saya adalah bagaimana bisa bermanfaat buat orang lain, sekaligus jadi tabungan pahala nantinya," sambung Bu Kartini.
Pengalaman memijat puluhan hingga ratusan orang membuat Bu Kartini dalam sehari malah semakin senang untuk menolong orang. Ia mengaku, pernah ada seorang pasien yang meminta pertolongannya. Saat itu, pasien tersebut dalam kondisi tidak memiliki uang dan tempat tinggal.
"Waktu itu ada yang minta pijat ke saya, dia harusnya pergi ke rumah sakit tapi keadaannya nggak punya uang. Akhirnya karena saya sudah berjanji ke diri sendiri untuk selalu menolong orang lain, saya bantu dia. Kalau nggak salah pasien itu membayar Rp 20 ribu," ucap Bu Kartini sambil menerawang, memutar kembali memorinya.
Selama ini Bu Kartini juga sering menggratiskan biaya pengobatan. Bu Kartini tidak mau dibayar jika yang datang berobat kepada dirinya adalah pembersih masjid dan anak yatim. Menurutnya, mereka layak mendapatkan perlakuan istimewa.
"Kalau pembersih masjid kan mereka mulia, membantu membersihkan rumah Allah. Sedangkan anak yatim memang harus dibantu," tukasnya.
(hil/dte)