Ironi Surabaya Jadi Kota Layak Anak Tapi Kekerasan-Pelecehan Masih Tinggi

Ironi Surabaya Jadi Kota Layak Anak Tapi Kekerasan-Pelecehan Masih Tinggi

Esti Widiyana - detikJatim
Selasa, 30 Agu 2022 14:58 WIB
Poster
Ilustrasi kekerasan terhadap anak. (Foto: Edi Wahyono/detikcom)
Surabaya -

Tahun ini, Pemkot Surabaya mendapat penghargaan sebagai Kota Layak Anak (KLA) Kategori Utama dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI. Namun, ironisnya, kekerasan hingga pelecehan pada anak di Kota Pahlawan masih tinggi.

Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3A PPKB) Surabaya menyebut, sejak Januari hingga Agustus 2022, terdapat 96 kasus yang menimpa anak-anak, baik sebagai korban maupun pelaku.

Kepala DP3A PPKB Surabaya Tomi Andriyanto mengatakan, pada kondisi pandemi COVID-19 yang mulai berakhir, terdapat peningkatan kasus kekerasan dan pelecehan pada anak. Penyebabnya ada dua hal, yakni ekonomi dan sosial di masyarakat.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Contoh kasus orang tua yang sampai membanting anaknya dan segala macam, itu neneknya kemudian keluar melaporkan dan segala macam. Fenomena seperti itu juga memang karena kondisi masyarakat yang tidak normal menjadi normal (akibat pandemi)," kata Tomi kepada detikJatim, Selasa (30/8/2022).

Ia menjelaskan, kasus kekerasan paling banyak dialami pada lingkungan rumah sekitar. Di mana pelaku atau orang yang bermasalah adalah orang sekitar situ.

ADVERTISEMENT

"Oleh karena itu, kami minta RT/RW, Kader Surabaya Hebat (KSH) lebih peduli lagi terhadap lingkungannya. Gaya metropolis cuek, tidak mau tahu terhadap lingkungan dan tetangga yang harus dihilangkan. Lebih care dengan permasalahan sosial yang ada di lingkungan masing-masing," jelasnya.

DP3A Surabaya juga memetakan beberapa jenis kasus. Yakni Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), non KDRT, anak berhadapan hukum (ABH) atau anak-anak sebagai pelaku kejahatan hingga trafficking.

Pada jenis kasus KDRT, dibagi menjadi empat sub. Yaitu kasus KDRT fisik sebanyak 6 kasus, KDRT seks ada 6 kasus, KDRT psikis 0 dan penelantaran (PE) ada 5 kasus.

Kemudian, kategori non KDRT ada 3 sub, yakni non KDRT fisik ada 11 kasus, seks ada 46 kasus dan PE ada 1 kasus.

Lalu, kategori ABH atau anak sebagai pelaku kejahatan ada 6 sub. Yakni pemerkosaan ada 2 kasus, pengeroyokan ada 4 kasus, pencurian ada 7 kasus, penjambretan ada 4 kasus, narkotika dan zat psikoaktif 1 kasus hingga perampokan 1 kasus.

Sementara itu, trafficking ada 1 sub, yakni seks ada 2 kasus.

Tak hanya kasus pada anak saja, ada juga kasus yang dialami oleh orang dewasa. Bahkan, pada Minggu (28/8) ada kasus seorang ibu yang tega membuang bayinya sendiri. Sang bayi yang masih lengkap dengan ari-arinya dibuang di talang air lantai 3 rumah di kawasan perumahan elite Jalan Dharmahusada Indah Utara Raya, Blok U, Surabaya.

Kasus ibu yang membuang bayinya, jika dalam DP3A masuk dalam kategori KDRT penelantaran (PE). Rupanya, hingga Agustus 2022 ini terdapat 24 kasus pada orang dewasa.




(hil/dte)


Hide Ads