Majelis Ulama Indonesia (MUI) wilayah Jawa Timur (Jatim) memperbolehkan umat Islam menggunakan lem fibrin untuk penanganan medis. Tapi ada sejumlah syarat yang harus diperhatikan.
"Dengan mencermati komponen dan proses pembuatan serta fungsi lem fibrin, maka lem fibrin tidak boleh digunakan kecuali dengan syarat digunakan dalam kondisi darurat atau digunakan karena adanya kebutuhan dalam efektivitas pengobatan," kata H Sholihin, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Jatim di Surabaya, Sabtu (6/8/2022).
Sholihin mengungkapkan, dalam komponen pembuatan lem fibrin terdapat bahan yang berasal dari usus babi yakni hepari. Hingga saat ini, belum ada pengganti hepari yang diambil dari usus babi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ternyata temuan kami, bahwa lem fibrin itu memang diambil dari plasma darah, beberapa komponen. Untuk memecah, memisah komponen itu butuh media, ada caranya yaitu harus menggunakan hepari. Hepari itu berasal dari babi," katanya.
"Tenaga ahli kita datangkan hingga detik ini gak ada yang gak pakai hepari dari usus babi. Ya semua pakai dari usus babi. Ada hepari dari unsur sapi, tapi yang bisa memisahkan plasma darah untuk lem fibrin hanya dari usus babi itu," sambungnya.
MUI Jatim, kata Sholihin bersama tenaga ahli mempertimbangkan manfaat dari lem fibrin. Manfaat itu yakni dapat mempercepat penyembuhan hingga mengeringkan luka.
"Saat Ijtima ulama kita memutuskan Islam mendorong upaya pengobatan karena bagian dari proteksi terhadap lima prinsip dasar syariah atau Al-Dharuriyat Al Khams dengan menggunakan metode yang tidak melanggar syariat," ujar Sholihin.
"Penggunaan lem fibrin diperbolehkan dengan syarat selama belum ditemukan komponen halal yang bisa menggantikannya," lanjutnya.
Sholihin juga menyampaikan lem fibrin bisa menghalangi sampainya air wudhu ke kulit. Maka MUI Jatim juga meminta umat Islam yang menggunakan lem fibrin dan hendak bersuci, harus dihilangkan terlebih dahulu, kecuali masih dalam waktu yang dinyatakan belum bisa dilepas.
"Maka hukum bersucinya sebagaimana orang yang memakai perban atau shohibul jabiroh," imbuhnya.
MUI Jatim, tambah Sholihin, juga merekomendasikan kepada pemerintah untuk mendorong para ahli segera mencari dan menemukan alternatif komponen yang halal.
"Kami juga menyerukan kepada umat Islam untuk bijaksana dan terukur dalam pemakaiannya. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari diperlukan perbaikan, maka akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya," tandasnya.
(abq/sun)