Pantauan detikJatim, semburan lumpur masih bisa disaksikan dari atas tanggul di titik 21 yang berada di Kelurahan Siring, Porong. Dari situ tampak asap hitam pekat membumbung tinggi dan lumpur panas masih keluar.
Akibat bencana 16 tahun ini, sebanyak 8 desa di Tanggulangin, Porong dan Jabon terdampak semburan lumpur langsung. Dan ratusan hektar desa lainnya juga terdampak genangan lumpur.
Tercatat ada sekitar 45 ribu orang yang terpaksa harus mengungsi secara permanen. Ini karena rumah dan lahan mereka hilang tenggelam karena semburan lumpur.
Lumpur itu juga sempat membawa korban jiwa. Saat itu gas metana yang keluar membuat tiga rumah terbakar dan mengakibatkan penghuninya menjadi korban. Kejadian itu terjadi pada tanggal 7 September 2010 sekitar pukul 22.30 WIB di RT 3, RW 2, Siring, Porong.
Salah satu korban, Purwaningsih (64) mengatakan bencana semburan lumpur merupakan pengalaman yang menyakitkan bagi keluarganya. Sebab, meski sudah mendapatkan ganti rugi, namun, ia dan anaknya harus menderita luka bakar.
"Peristiwa semburan lumpur itu menjadi pengalaman yang menyakitkan dan menyedihkan bagi keluarga kami. Meski kami sudah mendapatkan ganti rugi namun saya dan anak saya mengalami luka bakar yang sangat serius akibat semburan itu," kata Purwaningsih kepada detikJatim, Senin (30/5/2022).
Purwaningsih menceritakan di wilayah Kelurahan Siring barat yang terdiri dari empat RT yakni RT 1, 2, 3, dan RT 12 banyak bermunculan gelembung-gelembung gas metana. Kemudian oleh BPLS gas tersebut dimanfaatkan layaknya kompor gas warga.
"Saat kami sudah tidak melakukan aktivitas apapun tiba-tiba muncul api besar dari rumah tetangga. Bahkan api itu membakar saya dan anak saya," jelas Purwaningsih.
Purwaningsih menambahkan penderitaan luka bakar itu membuat dirinya selama enam tahun hanya tergolek di tempat tidur. Usai kejadian itu, dia mengaku mendapatkan ganti rugi cukup lumayan banyak sekitar Rp 1,5 miliar. Namun uang tersebut telah habis untuk berobat ke rumah sakit di Surabaya.
"Luka bakar saya mencapai 78 persen, sementara itu anak saya Deby (35) sekitar 47 persen. Alhamdulillah kami masih hidup meski mengalami luka bakar yang sangat parah. Sampai saat ini luka bakar masih ada yang belum sembuh, yang terletak di pergelangan kaki kanan," tutur Purwaningsih.
Sementara itu korban lumpur yang lain Joni (51) pemilik PT Osaka yang dulu terletak di Desa Kedungbendo, Tanggulangin, mengaku merasa sangat sedih karena sudah 16 tahun ganti ruginya belum terbayar.
"Awalnya semburan lumpur itu ditangani oleh tim nasional dengan ketuanya Basuki Hadimuljono. Untuk menyelamatkan rel kereta api dan Jalan Raya Porong lama, di depan perusahaan kami harus dibuatkan tanggul penahanan lumpur," kata Joni.
Joni menjelaskan bahkan dirinya sempat meminjamkan tanah dan material untuk membuat tanggul penahan lumpur. Meski tanggul telah berdiri, namun, ia harus merelakan perusahaannya terendam lumpur.
"Total tanah dan bangunan milik kami sekitar tujuh hektare, dengan nilai ganti ruginya sekitar Rp 80 miliar. Namun sampai saat ini sudah 16 tahun, ganti rugi yang kami tunggu-tunggu belum ada kejelasan," tegas Joni.
Para pengusaha korban lumpur ini tergabung dalam Gabungan Pengusaha Korban Lumpur Lapindo (GPKLL). Ada sekitar 31 berkas dengan total ganti rugi sekitar Rp 800 miliar. Selain itu pihak MK juga sudah mengeluarkan putusan No 83 tahun 2013 dan nomor 65 tahun 2015, menyatakan tidak ada perbedaan antara ganti rugi untuk pengusaha dan warga biasa yang sama-sama menjadi korban lumpur.
"Kami merasa sedih sudah 16 tahun kami bersama pengusaha lain belum mendapatkan ganti rugi. Padahal sudah ada putusan dari MK. Seharusnya pemerintah harus hadir untuk menyelesaikan pembayaran ganti rugi. Saat ini yang diurusin hanya ganti rugi warga, seharusnya adil, dari pengusaha juga harus diperhatikan," tandas Joni.
Joni menjelaskan warga korban lumpur mendapat informasi bahwa dari hasil kajian Badan Geologi Kementerian ESDM, bahwa semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo memiliki kandungan logam tanah jarang atau rare earth.
Dalam kandungan tersebut ditemukan kandungan mineral yang masuk dalam katagori mineral kritis. Kategori mineral kritis terdiri dari lithium dan stronsium yang bisanya digunakan sebagai bahan baku energi dalam pembuatan baterai.
"Kalau memang semburan lumpur betul-betul mengandung lithium, yang jelas menambah devisa negara yang nilai milliaran. Tapi kenapa pihak pemerintah tidak ada niatan baik, membayar ganti rugi untuk warga korban dari pengusaha. Kita sama-sama menjadi korban lumpur," tandas Joni.
(abq/iwd)