Loyalitas Cak Tohir Sang Drakula Serbabisa Srimulat Surabaya

Loyalitas Cak Tohir Sang Drakula Serbabisa Srimulat Surabaya

Eko Sudjarwo - detikJatim
Sabtu, 28 Mei 2022 08:01 WIB
Tohir Jokasmo Anggota Srimulat serba-bisa yang masih bertahan dengan keseniannya.
Tohir Jokasmo ditemui detikJatim di Lamongan. (Foto: Eko Sudjarwo/detikJatim)
Lamongan -

Bagi penonton setia sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) wajah Tohir Jokasmo sudah tak asing lagi. Pria kelahiran Surabaya 29 September 1946 silam itu telah melanglang buana sebagai seniman hingga muncul sebagai pemeran tokoh pengemis lansia bernama Tohir yang masuk pesantren lansia Shirat Al-Mustaqim di sinetron PPT Jilid 15. Tapi tahukah Anda mula-mula Tohir besar bersama Aneka Ria Srimulat?

Sebelum main sinetron, Tohir pernah menjadi salah satu Anggota Srimulat yang serbabisa. Mulai dari pelukis baliho, pemeran drakula, make up artistik, penata panggung, hingga menjadi sutradara yang ditunjuk langsung oleh Teguh Slamet Rahardjo-pendiri Srimulat- untuk semua pertunjukan di Solo sejak 1979 silam.

Pria alumnus SMA Trimurti Surabaya yang kini berusia 76 tahun itu benar-benar serbabisa. Pertama kali ia bergabung ke Srimulat ketika usianya masih 21 tahun, sekitar 1976 silam. Saat itu Tohir muda yang senang melihat beragam kesenian di Gedung THR Surabaya bergabung ke Srimulat setelah mengetahui ada lowongan pelukis baliho Srimulat dari seorang kawannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ternyata, srimulat butuh pelukis. Pelukis baliho. Sebetulnya saya dengan Triman (salah satu pelawak Srimulat) sudah akrab, karena saya penonton kesenian. Selama SMA saya sering ke THR jalan kaki dari rumah. Lihat Srimulat, Wayang Orang, Ketoprak. Waktu saya ditawari salah satu seniman jadi pelukis baliho Srimulat, ya, saya tes. Ternyata lulus. Saya diterima," ujarnya ditemui detikJatim di Lamongan, Kamis (26/5/2022).

Tohir Jokasmo Anggota Srimulat serba-bisa yang masih bertahan dengan keseniannya.Tohir Jokasmo Anggota Srimulat serba-bisa yang masih bertahan dengan keseniannya. Foto: Eko Sudjarwo/detikJatim

Mulai menjalani profesi sebagai salah satu pelukis Baliho pertunjukan srimulat sejak 1967, pria yang akrab disapa Cak Tohir itu akhirnya resmi bergabung menjadi anggota Srimulat pada 1968. Ia menjadi pelukis baliho menggantikan Budi SR yang mulai sering mengatur panggung. Pada masa itu nama pelawak Triman, Johny Gudel, Edy Geyol, dan Bandempo sedang naik daun.

ADVERTISEMENT

"Asalnya Budi SR yang melukis. Tapi karena repot megang panggung juga, saya jadi penggantinya. Ya melukis saja lah saya. Mengalir saja. Lalu Srimulat butuh pemain fragmen lagu. Misalnya lagu sepasang mata bola. Ada pemain yang memerankan tokoh yang diceritakan di lagu itu di atas panggung. Seperti film bisu begitu," ujar Tohir yang sempat mengenyam pendidikan di Akademi Seni Rupa (Aksera) itu.

Sejak saat itu, selain melukis baliho, ia juga main dalam setiap fragmen lagu yang menjadi pembuka pertunjukan Aneka Ria Srimulat di THR Surabaya. Bersamaan dengan itu, Teguh Sang Maestro Aneka Ria Srimulat mulai sering membuat naskah pertunjukan menggabungkan komedi dan horor, dengan menjadikan Paimo, seniman Surabaya sebagai tokoh pertama drakula.

Ketika Teguh membutuhkan pemain tambahan sebagai drakula, ia pun meminta Tohir sebagai salah satu pemeran monster dalam beberapa kali pertunjukan. Antara Paimo dengan Tohir ternyata bisa saling mengisi. Mereka pun mulai meramaikan setiap cerita di panggung Srimulat. Terutama pada hari-hari tertentu, seperti pada hari Kamis atau malam Jumat.

"Akhirnya waktu ada horornya, pemain horor kan Paimo, tapi karena saya bisa main, dicoba. Saya dicoba horor lokal. Paimo jadi madam, saya jadi Master Drakula. Pemain horor lokal saya semua, yang Kamis horor luar negeri Paimo sama saya. Kalau Paimo madam, saya drakula laki-laki," ujar pria yang kini lebih banyak tinggal di Yogyakarta itu.

Perihal pemeran drakula ini, tidak hanya Paimo dan Tohir yang ketiban peran tersebut. Teguh sendiri sempat memasang pelawak seperti Johny Gudel sebagai pemeran drakula. Hingga akhirnya ada Paul, pelawak eks Lokaria yang turut serta bergabung setelah pelawak asal Malang Abimanyu dan Asmuni, serta kawan-kawannya turut masuk ke Srimulat.

Gedung Srimulat di Jakarta dan Solo juga gegap gempita penonton Srimulat di JakartaPoster di Gedung Srimulat Solo. Tohir Jokasmo sempat dipercaya menjadi pelukis baliho dan poster hingga sempat menjadi sutradara di Srimulat Solo. (Foto: Repro Dok Herry Gendut Janarto)

Sosok Multitalenta di Panggung Srimulat

Seiring berjalannya waktu, Cak Tohir yang serbabisa juga turut mengurus setting panggung. Selain pelukis dia juga mempelajari seni rupa lainnya. Tidak hanya itu, ia juga menjadi seorang make up karakter karena Teguh melihatnya bisa merias wajah sendiri ketika menjadi drakula.

"Saya bisa make up karakter juga. Main horor itu saya make up sendiri. Akhirnya jadi make up man juga. Make up man karakter. Terus jadi setting panggung juga, karena saya juga dari seni rupa. Ya, mengalir terus di Srimulat begitu. Begitu 1976, saya izin ke Jakarta untuk nggarap film. Saya waktu itu bagian artistik di film. Karena dari teater, saya juga main figuran," ujarnya.

Kariernya di film ternyata tidak bertahan lama. Hanya sekitar 3 tahun ia di Jakarta, ketika mendengar Srimulat membuka panggung di Bale Kambang, Solo pada kisaran tahun 1979, ia kembali ke pangkuan Aneka Ria Srimulat. Teguh sendiri yang pada saat itu memintanya untuk membantu Srimulat Solo.

"Di film kira-kira 3 tahun, 4 tahun. 1979 lagi break 1 bulan, saya dengar Srimulat buka Solo. Saya datang ke Solo waktu masih dibangun gedungnya. Eh, Pak Teguh ketemu saya," katanya.

'Hir enggak ono gawean? (Hir tidak ada kerjaan?)' 'Yo ada pak wong saya garap film.' 'Tulungono Hir, di sini ini enggak ada sing main horor, enggak ono sutradara-e, enggak ono sing nggambar, enggak ono sing artistik'. Begitu lah percakapan antara Teguh Karya dengan Tohir kala itu.

"Ya bagaimana memang sudah skenarionya begitu kali, ya. Saya terima, film saya tinggal. Masuk Srimulat lagi," Tohir melanjutkan.

Tohir kembali berkarya bersama Srimulat. Mulai dari menjadi asisten sutradara, hingga akhirnya menjadi sutradara. Bahkan, dia dipercaya oleh Sang Pendiri untuk menulis ceritanya, memegang make up, termasuk mengatur dekor panggung. Dia juga muncul sebagai drakula ketika cerita horor dan tidak jarang ketika adegan ketoprak ia menjadi 'bolo kepruk'.

"Wong aku pemain silat. Jadi ngerangkep-rangkep waktu di Solo itu. Di situ mulai muncul generasi Gepeng, Gogon, Basuki, Kadir masuk di Solo itu. Nah, waktu saya ke Solo itu Srimulat Surabaya kosong. Masuk lah Asmuni, Tarzan, Paul dari Lokaria, terus begitu sampai 86 itu Solo bubar pindah ke Semarang, ada Nunung, Polo, dan lain-lain muncul di Semarang," katanya.

Ia bahkan sempat dipanggil ke Jakarta ketika akhirnya di Solo dan Semarang Srimulat sudah bubar. Tapi pada saat ia hadir ketika kondisi Aneka Ria Srimulat di Taman Ria Senayan sudah carut marut. Tidak lama di Jakarta ia memutuskan mundur, lalu kembali diminta untuk bergabung di Srimulat Surabaya hingga sekitar tahun 2004 ia menyaksikan 'Kerajaan' Srimulat benar-benar runtuh.

"Ya, karena saat itu acara TV sudah banyak, jadi orang datang ke THR sudah malas. Kalau soal kenangan, di Srimulat saya mengenal kehidupan dari panggung. Akhirnya saya menyadari, oh ternyata maqom-ku nang panggung. Istilahnya, saya mendewasakan diri lewat panggung," kata pria yang sempat menjadi Takmir di Masjid At-Taufiq sembari manggung di Gedung Srimulat, Kompleks THR Surabaya itu.

Kini, di usinya yang sudah tidak lagi muda, Tohir Jokasmo masih sering berkelana melanjutkan gairah kesenian tradisional yang terus mengalir di darahnya. Di dunia teater, ia terus melakukan pentas monolog. Tidak jarang ia terlibat dalam grup-grup seni tradisional Jawa Timur seperti ludruk dan lain sebagainya bersama kawan-kawannya, termasuk di Lamongan.

"Kalau untuk masyarakat generasi sekarang, saya cuma titip pesan, bagaimana menghidupi kesenian lagi. Terutama kesenian tradisi di daerah masing-masing. Karena anak milenial ini kan dikikis karakternya untuk melupakan tradisi. Boleh lah kita menjadi modern, tapi jangan lupa kalau modern itu berangkat dari tradisi juga," ujarnya.




(dpe/dte)


Hide Ads