Prof Amran Suadi yang menjabat Ketua Kamar Agama Mahkamah Agung Repubik Indonesia itu dikukuhkan pada Prosesi Sidang Senat Terbuka hari ini, Senin (14/3). Dirinya meraih gelar Guru Besar Tidak Tetap Bidang Ilmu Perlindungan Hak Perempuan dan Anak dalam Peradilan Agama Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UINSA Surabaya.
Dalam pengukuhan itu, Prof Amran menyampaikan orasi ilmiah bertajuk Jaminan Perlindungan Hak-hak Perempuan dan Anak berbasis Interkoneksi Sistem. Di dalamnya terdapat penjelasan bahwa perempuan dan anak secara fisik dipandang sebagai kelompok yang rentan terhadap proses domestifikasi sistem budaya patriarki.
"Kondisi ini rentan membuat perempuan dan anak menjadi objek kekerasan dan terabaikan hak-hak dasarnya secara manusiawi," ujar Prof Amran.
Menurut dia, orasi ilmiah itu berawal dari kegelisahan terhadap banyaknya laporan di Pengadilan Agama terkait kelalaian 'mantan suami' menjalankan kewajiban membayar nafkah 'mantan istri' pasca perceraian.
Hal itu dinilai masih menjadi pekerjaan rumah yang menuntut perhatian besar. Karena, menurut dia, sistem pelaksanaan putusan perkara akibat perceraian di Indonesia masih lemah.
"Tingginya biaya eksekusi perceraian dibandingkan nominal putusan yang akan dieksekusi seolah menegaskan inferiornya posisi perempuan dan anak dalam perkara hukum keluarga," imbuh pria yang pernah menjabat sebagai Hakim Agung itu.
Karenanya, Prof Amran mengatakan bahwa jaminan hak-hak perempuan dan anak itu penting diwujudkan melalui berbagai langkah strategis. Misalnya melalui subtansi hukum, struktur hukum, kultur hukum, serta pembaruan sistem yang saling terkoneksi.
Namun, lanjut Prof Amran, dalam konteks penegakan hukum seringkali pemaknaan tersebut menguap. Sehingga dalam peraturan perundang-undangan dinilai perlu ditulis laki-laki dan perempuan untuk menunjukkan ketegasan hukum.
"Prinsip persamaan tersebut merupakan salah satu bagian dari prinsip keadilan yang harus kita tegakkan," imbuhnya.
Dalam forum ini, Prof Amran menyampaikan kesimpulan. Yakni negara diharapkan menginisiasi dan memperkuat komitmen untuk memberikan perlindungan dan jaminan hak-hak perempuan dan anak pasca perceraian. Selanjutnya, hakim sebagai penegak hukum harus memahami dan menerapkan prinsip metabolisme biological justice bagi jaminan perlindungan perempuan dan anak pasca perceraian.
"Interkoneksi sistem pelaksanaan putusan pengadilan bagi perlindungan hak-hak perempuan dan anak merupakan sebuah keniscayaan untuk mewujudkan kepastian hukum," tukasnya.
Dalam forum itu, Rektor UINSA Surabaya, Prof Masdar Hilmy juga menyambut Prof Amran Suadi sebagai bagian dari keluarga besar UINSA Surabaya.
"Mudah-mudahan keberadaan beliau akan semakin memberikan kekuatan dan memberikan berkah dan manfaat untuk UINSA, negara, bangsa, dan agama," ujar Prof Masdar.
Prof Masdar menilai, Prof Amran Suadi memiliki aspek kelayakan sebagai Guru Besar. Seperti memiliki lebih dari 80 karya tulis. Baik dalam bentuk buku maupun artikel yang tersebar pada media massa dan jurnal.
"Dari sisi kontribusi, tentu saja kita sangat berharap dan mendoakan mudah-mudahan beliau diberikan kekuatan dan keberkahan oleh Allah sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih banyak dan lebih manfaat untuk kita semua," paparnya.
Prosesi itu juga dihadiri segenap kolega dan tamu kehormatan dari Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, Pengadilan Tinggi Agama-Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara seluruh Indonesia.
(hse/fat)