Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Bimas) Buddha Kemenag memberikan pembekalan kepada para pemandu wisata agar mempunyai pemahaman secara utuh terkait keberadaan Candi Borobudur.
"Kami dari Bimas Buddha memberikan perhatian penuh terhadap pemanfaatan Candi Borobudur. Pemandu wisata perlu mendapatkan pemahaman utuh terkait beberapa pengetahuan yang selama ini sudah ada, pengetahuan kan berkembang, sehingga perlu update," kata Dirjen Bimas Buddha Kemenag Supriyadi kepada wartawan di Manohara Borobudur, Senin (17/10/2022).
Pembekalan secara online dan offline itu diikuti 100 orang. Pembicaranya Dr. Hudaya Kandahjaya, salah seorang peneliti Candi Borobudur.
Supriyadi mengatakan, Candi Borobudur nilai-nilai Buddhanya sangat tinggi. Dia berharap para pemandu wisata mesti mendapatkan pemahaman utuh.
"Selama ini mungkin teman-teman masih memiliki pemahaman terkait dengan pembagian Candi Borobudur, Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu. Sesungguhnya dalam proses pengembangan agama Buddha sendiri nanti ada mungkin pembagian-pembagian yang dilihat dari strukturnya, ajarannya, baik dari Karmawibhangga atau lainnya," tuturnya.
"Itu sesuatu yang dapat kita buka wacana soal tadi memahami, mengerti bahwa sesungguhnya setiap pemahaman itu ada pencetusnya. Dan setiap pencetus pasti ada gagasan-gagasan yang mendukungnya. Nah inilah, wajib dibuka wawasan tadi sehingga tidak lagi dipertentangkan," ujarnya.
Pembekalan bagi para pemandu wisata ini bertujuan untuk meluruskan informasi seputar Candi Borobudur yang telah populer di masyarakat.
"Munculnya gagasan ini karena ada keprihatinan saya atas berbagai keterangan yang beredar di masyarakat jika dibanding dengan hasil-hasil penelitian saya. Ada kesenjangan, ada berbagai informasi yang masih disampaikan di berbagai media yang kadaluwarsa atau bahkan sudah dibantah oleh banyak cendekiawan, tapi tetap masih banyak beredar. Kalau dibiarkan saya khawatir akan memberikan salah pengertian tentang apa itu Borobudur," ujar dia.
Menurut Hudaya, ada konsep yang tidak relevan di Candi Borobudur, salah satunya mengenai konsep Tridhatu yang meliputi Kamadhatu, Rupadhatu dan Arupadhatu.
"Ya konsep yang disebut Tridhatu, Kamadhatu, Rupadhatu, Arupadhatu itu kan dimulai oleh sarjana Belanda bernama WF Stutterheim. Karena dia membaca kitab Sang Hyang Kamahayanikan, tetapi yang dibaca itu hanya sedikit. Seperti gunung es itu loh, yang terlihat di atas, padahal di bawahnya itu begitu besar," kata Hudaya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Banyak yang tidak kita pahami dan sewaktu memahami itu kita memproyeksi pengertian tentang agama Buddha menurut persepsi kita di zaman sekarang. Padahal apa yang disampaikan kitab oleh Sang Hyang Kamahayanikan ini sesungguhnya berbeda, karena mereka itu merekam ajaran-ajaran agama Buddha yang purba, yang terputus, yang tidak banyak lagi, yang dikenal tradisi agama Buddha zaman sekarang," terang dia.
(dil/ahr)