24 Mei 1964. Tim nasional Peru menjamu Argentina dalam laga kualifikasi Olimpiade zona Amerika Selatan. Peru yang saat itu berada di urutan kedua klasemen hanya butuh hasil imbang untuk lolos.
Dilansir detikNews, BBC Indonesia melaporkan Estadio Nacional Peru di Ibu Kota Lima saat itu penuh sesak dengan kapasitas 53.000 orang. Jumlah itu sedikit di atas 5% dari populasi Lima pada saat itu.
"Meskipun kami bermain bagus, mereka memimpin," kenang salah satu legenda sepak bola Peru, Hector Chumpitaz, yang turut bertanding saat itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Chumpitaz tak menyangka, dirinya akan menjadi saksi peristiwa paling mengerikan dalam sejarah sepakbola dunia. Bencana stadion terburuk di dunia terjadi di mana lebih dari 300 orang tewas, namun cerita lengkapnya tidak diketahui, dan mungkin tidak akan pernah.
Awal Mula Petaka
"Kami menyerang, mereka bertahan dan terus berlanjut sampai suatu saat bek lawan hendak membuang bola - dan pemain kami, Kilo Lobaton, mengangkat kakinya untuk memblokir dan bolanya mental masuk ke gawang - tetapi wasit mengatakan itu adalah pelanggaran, jadi golnya tidak sah. Inilah sebabnya para penonton mulai kesal," ujarnya.
Dengan cepat, dua penonton memasuki lapangan. Yang pertama adalah seorang petugas keamanan yang dikenal sebagai Bomba; ia mencoba memukul wasit namun dihentikan oleh polisi dan diseret ke luar lapangan.
Orang kedua, Edilberto Cuenca, mengalami serangan brutal.
"Polisi kami sendiri menendangnya dan memukulinya seolah-olah dia adalah musuh. Inilah yang membangkitkan kemarahan semua orang - termasuk kemarahan saya," kata salah satu penggemar di Estadio Nacional hari itu, Jose Salas.
Dalam hitungan detik, massa melempar berbagai benda ke arah polisi. Beberapa puluh orang lagi berusaha mencapai lapangan. Membaca suasana hati, Salas dan teman-temannya memutuskan untuk pergi.
"Kami berlima menuruni tangga untuk turun ke jalan - seperti yang dilakukan banyak orang lain - tapi pintu gerbang keluar ditutup," katanya.
Para Korban Terjebak Gas Air Mata
"Jadi kami putar arah dan mulai naik tangga lagi, dan saat itulah polisi mulai melempar gas air mata. Waktu itu orang-orang di tribun berlari ke terowongan untuk menghindar - tempat mereka bertemu kami - sehingga terjadi desak-desakan," imbuh Salas.
Salas berada di tribun utara, tempat jumlah tabung gas air mata paling banyak jatuh - antara 12 dan 20.
Salas merasa ia menghabiskan sekitar dua jam di antara kerumunan manusia yang perlahan-lahan menuruni tangga. Kerumunan begitu padat, katanya, sehingga kakinya tidak menyentuh lantai sampai dia berakhir di bagian bawah, terperangkap dalam tumpukan mayat, beberapa hidup dan beberapa lainnya meninggal.
Catatan resmi menyatakan sebagian besar korban meninggal karena sesak napas. Namun yang membuat bencana stadion ini berbeda dari yang lain ialah apa yang terjadi di jalanan di luar stadion.
Beberapa penggemar yang sudah lebih dahulu keluar dari stadion berhasil membuka gerbang dan membebaskan mereka yang terperangkap di dalam, sementara sebagian lainnya terlibat dalam bentrokan dengan polisi bersenjata.
"Beberapa pemuda dari kompleks perumahan saya lewat dan melihat saya. Saya agak kurus, dan akhirnya mereka menarik saya keluar," katanya.
"Tapi kemudian penembakan dimulai dan mereka langsung berlari. Peluru di mana-mana. Saya mulai berlari dan tidak melihat ke belakang," ujar Salas.
Selama kurun waktu tersebut, Chumpitaz juga tidak bisa pergi.
Korban jiwa berjatuhan hingga mencapai 300 lebih, simak di halaman selanjutnya...
"Setelah kami sampai di ruang ganti, beberapa orang pergi ke luar dan ketika kembali mengatakan sudah terjadi dua kematian. 'Dua kematian?' tanya kami. Satu saja sudah banyak. Kami tinggal di dalam ruang ganti selama dua jam sebelum kami bisa pergi, jadi kami tidak tahu skala peristiwa yang sedang terjadi.
"Dalam perjalanan pulang ke tempat latihan, kami mendengarkan radio dan mereka mengatakan ada 10, 20, 30 kematian. Setiap kali ada berita, jumlahnya meningkat: 50 kematian, 150, 200, 300, 350."
Jumlah resmi mereka yang tewas adalah 328 orang, tetapi ini mungkin estimasi yang terlalu rendah, karena belum termasuk mereka yang tewas terkena tembakan.
Chumpitaz kemudian tampil lebih dari 100 kali bersama timnas Peru. Ia menjadi kapten tim di Piala Dunia 1970 dan 1978, tetapi ia hampir berhenti bermain sepak bola setelah pertandingan bencana ini, pada awal karier internasionalnya.
Laporan Korban Tewas Ditembak
Ada banyak laporan saksi mata tentang orang-orang yang meninggal karena luka tembak, tetapi hakim yang ditunjuk untuk menyelidiki bencana itu, Hakim Benjamin Castaneda, tidak pernah dapat menemukan mayat-mayat itu untuk membuktikannya.
Beberapa bulan setelah tragedi itu, Castaneda didatangi oleh seorang pria tua yang mengatakan kedua putranya, keduanya mahasiswa kedokteran, telah berangkat dari provinsi untuk menonton pertandingan dan tidak pernah kembali.
Dalam laporannya, Castaneda mengatakan jumlah korban tewas yang diberikan oleh pemerintah tidak 'mencerminkan jumlah korban yang sebenarnya, karena ada kecurigaan yang kuat tentang pemindahan rahasia mereka yang terbunuh oleh peluru,.
Ia kemudian menuduh Menteri Dalam Negeri saat itu mendalangi masuknya penonton ke lapangan serta polisi merespons dengan brutal guna menghasut kerumunan supaya melakukan kekerasan, sehingga menjadi alasan melakukan tindakan kejam.
Pertunjukan kekuatan itu dimaksudkan, kata Castaneda, untuk 'membuat masyarakat belajar, dengan darah dan air mata' bahwa ada risiko jika menentang pihak berwenang.
Sementara itu pihak pemerintah menyalahkan kelompok agitator Trotskyis.
Peru Tengah Bergejolak
Jorge Salazar, seorang jurnalis dan profesor yang menulis buku tentang bencana itu, mengatakan masyarakat Peru pada saat itu sedang sangat bergejolak.
"Itu tahun enam puluhan, masanya the Beatles, Fidel Castro lagi mode - semuanya di dunia berubah ," katanya.
"Di Peru, orang-orang untuk pertama kalinya bicara tentang keadilan sosial. Ada banyak demonstrasi, gerakan buruh dan partai komunis. Kelompok-kelompok kiri cukup kuat, dan selalu terjadi bentrokan antara polisi dan rakyat," imbuh Salazar.
Banyak penggemar sepak bola yang lolos dari gas air mata, tampaknya ingin membalas dendam pada polisi. Dua polisi dilaporkan tewas di dalam stadion, dan pertempuran berlanjut di jalan-jalan di luar.
Komandan polisi dihukum 30 bui, simak di halaman selanjutnya...
Lima puluh tahun kemudian, anggota Kongres Peru Alberto Beingolea, meminta rakyatnya mengheningkan cipta selama satu menit untuk menghormati korban tewas. Dia meragukan kalau kekerasan itu telah direncanakan sebelumnya oleh pemerintah atau kaum revolusioner.
Tapi ia tidak menepis gagasan bahwa ada orang-orang yang meninggal karena luka tembak.
"Dua kematian seperti itu mungkin terjadi, terutama jika Anda berada dalam iklim kekacauan - seperti yang terjadi di era itu," katanya. "Ketika seseorang menyebabkan kekacauan, polisi harus merespons - dan kapan saja, itu dapat mengakibatkan penembakan."
Peru tidak pernah melakukan upaya serius untuk mengusut tuntas penyebab bencana di Estadio Nacional, dan ini mungkin tidak akan pernah terjadi.
Yang kita ketahui adalah bahwa mereka yang dihukum dapat dihitung dengan dua jari.
Komandan Polisi Dibui 30 Tahun
Jorge Azambuja, komandan polisi yang memberi perintah untuk menembakkan gas air mata, dijatuhi hukuman 30 bulan penjara.
Terhukum lainnya adalah Hakim Castaneda sendiri. Ia didenda karena terlambat menyerahkan laporannya enam bulan, dan karena gagal menghadiri semua 328 otopsi seperti yang seharusnya dia lakukan. Laporannya ditolak.
Sekarang, Castaneda sudah meninggal.
Namun masih belum ada plakat yang dipajang di Estadio Nacional untuk memperingati mereka yang tewas dalam bencana paling mematikan sepanjang sejarah sepak bola.
Wawancara dengan Benjamin Castaneda, Jose Salas dan Jorge Salazar dilakukan pada tahun 2000.