Pedukuhan Kemusuk, Kalurahan Argomulyo, Kapanewon Sedayu, Kabupaten Bantul, terkenal sebagai tempat kelahiran Presiden ke-2 RI Soeharto. Namun, siapa sangka Kemusuk menyimpan cerita kelam dan memiliki hubungan erat dengan munculnya serangan umum 1 Maret 1949 di Jogja, seperti apa kisahnya?
Ketua Yayasan Kajian Citra Bangsa (YKCB) Mayjen TNI (Purn) Lukman R Boer menceritakan pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda berhasil menduduki Jogja. Hal tersebut membuat Soeharto yang saat itu berpangkat Letkol berkeliling di luar Jogja untuk mengumpulkan pasukan.
"Jadi setelah Jogja diduduki tanggal 19 Desember itu kemudian pak Harto bersama pasukan di luar dan keliling menyatukan pasukannya," kata Lukman saat ditemui di Museum Jenderal Besar Soeharto di Kemusuk, Sedayu, Bantul, Selasa (28/2/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Lukman, Soeharto akhirnya melakukan penyerangan di sekitar Kantor Pos Besar, Secodiningratan, Ngabean, Patuk, Sentul dan Pengok pada tanggal 29 Desember 1948. Hasilnya, serangan tersebut menimbulkan banyak korban jiwa dan bangunan yang hancur di pihak Belanda.
"Setelah pasukannya terkumpul mereka melakukan serangan malam tanggal 29 malam," ucapnya.
![]() |
Selain karena Jogja berhasil diduduki Belanda, Lukman mengungkapkan alasan lain Soeharto melakukan penyerangan pada tanggal 29 Desember. Menurutnya, hal itu karena Soeharto merasa tidak mampu memenuhi tanggung jawab wilayah yang dibebankan kepadanya.
"Pak Harto merasa bersalah pada rakyatnya, khususnya di Jogja. Karena beliau diberi tanggung jawab oleh divisi, tanggung jawab Kota Jogja tapi tidak bisa, karena itulah melakukan serangan," katanya.
Serangan tersebut sontak membuat Belanda kaget sekaligus geram. Bahkan, Belanda langsung memburu pemimpin pasukan yang menyerang tanggal 29 Desember malam itu.
"Nah, itu Belanda kaget, lho kok ada (serangan) katanya TNI sudah kalah, Republik sudah bubar bilangnya radio Belanda tapi kok saya diserang. Siapa ini kepalanya, siapa yang menyerang," ujarnya.
Belanda lalu mengerahkan pasukan intelijen guna menguak dalang di balik serangan tersebut. Akhirnya Belanda mengetahui jika Soeharto yang memimpin serangan tersebut dan langsung mencarinya di Kemusuk.
"Ssetelah itu (serangan terhadap Belanda) intel-intel kan dikerahkan, biasalah. Akhirnya terungkap kalau putra Kemusuk (Soeharto) yang memimpin serangan itu (serangan 29 Desember 1948)," ucapnya.
Selanjutnya pembantaian massal di Kemusuk menjadi pemicu serangan umum 1 Maret 1949.
Pembantaian Massal di Kemusuk
Pencarian di Kemusuk mulai berlangsung sejak datangnya pasukan Belanda pada tanggal 6 Januari 1949. Saat itu, kata Lukman, banyak masyarakat yang tidak mau memberitahu di mana keberadaan Soeharto hingga berujung pada pembunuhan secara massal atau genosida.
"Nah, mereka lalu cari ke sini (Kemusuk) dan rakyat sini tidak tahu, semua tidak mengaku. Karena tidak mengaku digebukin, ditembak, dan dipaksa tetap tidak mengaku," ujarnya.
"Terus tanggal 8 (Januari 1949) ke sini (Kemusuk) lagi bawa pasukan lebih besar, terjadilah rakyat dibunuh, rumah dibakar. Itulah terjadi korban lebih dari 300 orang, tapi yang terkumpul oleh Pak Probosutejo tahun 1991 ada 202 (korban) yang sekarang dimakamkan di makam Somenggalan," lanjut Lukman.
Peristiwa itu menyulut amarah Soeharto. Alhasil pada tanggal 9 Januari 1949 Soeharto kembali melakukan serangan terhadap Belanda di Jogja.
Tidak berhenti di situ, pasukan yang dipimpin Soeharto kembali menyerang Belanda pada tanggal 16 Januari dan 4 Februari 1949. Hingga puncaknya pada tanggal 1 Maret 1949 yang membuktikan kepada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih ada dan cukup kuat untuk mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) atas kependudukan Belanda.
Oleh sebab itu, Lukman berharap generasi muda saat ini lebih menghargai patriotisme pahlawan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebab, masyarakat bisa menikmati kemerdekaan hingga saat ini karena perjuangan dan pengorbanan para pahlawan.
"Jadi untuk generasi muda hargailah patriotisme pahlawan, jangan dilupakan. Kalau dia berjuang di sini hargai, hormati, keluarganya juga hormati. Kenapa? Karena dia sudah mengorbankan keluarganya dan dengan jasa itu Indonesia bisa seperti ini," katanya.