Mengenang Perjuangan Shinta Ratri Pertahankan Ponpes Waria

Mengenang Perjuangan Shinta Ratri Pertahankan Ponpes Waria

Pradito Rida Pertana - detikJateng
Rabu, 01 Feb 2023 12:59 WIB
Shinta Ratri (57), pendiri Ponpes waria Al-Fatah di Banguntapan, Bantul, DIY, saat ditemui wartawan pada Kamis (25/7/2019) sore.
Shinta Ratri (57), pendiri Ponpes waria Al-Fatah di Jogja, saat ditemui wartawan pada Kamis (25/7/2019). Foto: Pradito Rida Pertana/detikJateng
Bantul -

Pendiri sekaligus pemimpin Pondok Pesantren (ponpes) waria Al Fatah Jogja Shinta Ratri meninggal dunia hari ini. Shinta meninggal karena sakit jantung. Berikut kisah perjuangan Shinta Ratri dalam mempertahankan ponpes waria yang didirikannya.

Ponpes waria Al-Fatah berada di Kampung Kotagede, Jagalan, Banguntapan, Bantul, DIY. Ponpes itu menjadi tempat bagi para waria untuk belajar agama dan mengembangkan soft skill. Jurnalis detikcom pernah bertandang ponpes itu pada Kamis (25/7/2019).

Ponpes dengan bangunan khas Jogja itu berada di antara gang sempit. Memasuki ponpes tersebut, terdapat sebuah ruang memanjang berisi beberapa kursi dan meja yang menghadap ke sebuah papan tulis putih.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masuk lebih jauh lagi, terdapat sebuah gazebo yang di depannya ada tempat untuk mengaji. Ada beberapa Al-Qur'an, Iqra', dan perlengkapan ibadah di tempat beralas karpet hijau tersebut.

Di belakang gazebo itu terdapat beberapa ruangan, seperti ruang perpustakaan hingga ruang konseling.

ADVERTISEMENT

Sang pendirinya, Shinta Ratri (57), menceritakan awal mula berdirinya Ponpes waria Al-Fatah ini. Shinta mengatakan ponpes ini berdiri sejak 2008.

"Setiap orang punya hak beribadah. Gini, saat manusia lahir telah melekat pada dirinya hak asasi, secara otomatis dia adalah sebagai makhluk Tuhan. Itulah kenapa kami memperjuangkan hak beribadah, karena kami manusia yang punya hak beribadah seperti orang-orang lainnya," kata Shinta kepada detikcom saat itu.

"Kami punya hak untuk beribadah, berkumpul dan belajar, itulah yang sesungguhnya kita harapkan, karena selama ini kami kerap didiskriminasi. Bahkan untuk berbuat baik harus pikir dua kali karena stigma, karena curiga kemudian kami dianggap berdosa. Jadi waria bukan pilihan kami, tapi ini hanya sekadar apa yang harus kami lakoni (lakukan)," imbuh Shinta.

Transpuan yang berhijab ini melanjutkan, berdasarkan hal itulah ia mulai mendirikan Ponpes Al-Fatah. Saat itu ada puluhan waria yang belajar agama di ponpesnya.

"Secara keseluruhan ada 42 orang, tapi yang aktif 30 sampai 35 orang. Mereka berasal dari latar belakang dan profesi yang berbeda-beda," ucapnya.

Shinta menuturkan tidak semua santri tinggal di Ponpes Waria Al-Fatah. Sebab, ada yang sudah memiliki tempat tinggal dan memiliki kesibukan masing-masing.

"Yang tinggal di sini hanya 6 orang, keenam orang itu ada yang kerja sebagai pengamen, tukang masak, dan di LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)," jelasnya.

Shinta menjelaskan, pembelajaran agama di ponpes itu tiap dua hari dalam sepekan. Pengajarnya 3 ustaz dan 1 ustazah.

Selengkapnya di halaman selanjutnya.

"Kalau hari biasa (Senin sampai Jumat) mereka kerja untuk mencari kebutuhannya masing-masing. Nah, setiap Sabtu ada sekolah sore mulai jam 16.00 WIB sampai 17.30 WIB," kata Shinta.

"Di sekolah sore itu mereka mempelajari tentang tanaman hidroponik, belajar masak, kreasi hijab dan membatik," imbuh Shinta.

Tiap hari Minggu, para waria itu belajar agama dalam sekolah agama. Sekolah itu digelar dari sore hingga malam hari.

"Setiap hari Minggu kita mulai dengan koperasi dan arisan dulu jam 15.00-16.00 WIB. Terus jam 16.00-17.00 WIB itu mulai kelas, jadi kita sekolah agama," ujarnya.

Sistem pelajaran yang diterapkan juga menggunakan tahapan seperti kelas 1 naik ke kelas 2 dan selanjutnya.

"Paling diutamakan kan bisa salat. Jadi kelas 1 itu tentang bacaan salat, kelas 2 bacaan surat pendek, dan kelas 3 tentang tajwid. Ujiannya 3 bulan sekali, untuk evaluasi dan kalau lancar naik kelas gitu," kata Shinta.

"Setelah sekolah agama, jam 27.00-28.00 WIB petang kita tadarus dan baca iqra' buat yang belum bisa baca Al-Qur'an. Setelah itu salat maghrib berjamaah dan baru kajian kitab kuning dilanjutkan salat isya' berjamaah, makan bersama, dan malam harinya untuk sesi sharing," sambungnya.

Shinta mengatakan, sesi sharing bisa berlangsung hingga pukul 22.00 WIB. Santri yang tidak bisa pulang karena sudah tak ada angkutan umum karena sudah terlalu larut bisa menginap di ponpes.

Ponpes Al-Fatah tidak memiliki kajian khusus dalam pembelajaran agama. Menurut Shinta, ada beberapa Pekerja Seks Komersial (PSK) yang ikut belajar agama.

"Dari berbagai komunitas hingga pekerja seks ada. Kalau mau jadi anggota ya terima saja, artinya kita tidak berdakwah, menggurui dengan kata-kata yang muluk-muluk. Kita biarkan saja mereka ikut berproses dan merasakan atmosfer religius yang ada di sini, dan seiring berjalannya waktu nanti ada pemikiran sendiri atau hidayah untuk ke arah yang lebih baik," kata Shinta.

"Karena dari pengalaman, dulu ada 8 orang (waria yang berprofesi) PSK dan sekarang tinggal 4 orang," sambung dia.

Terkait adanya waria nonmuslim yang ingin belajar tentang agama, Shinta tidak melarangnya. Bahkan ia mencoba mencarikan solusi agar rekan waria nonmuslim dapat belajar agama sesuai kepercayaannya masing-masing.

"Ada (waria nonmuslim yang ingin belajar agama), kami carikan solusi dan kami punya MoU dengan UKDW (Universitas Kristen Duta Wacana). Jadi mereka memberi layanan persekutuan doa kepada yang nonmuslim. Kegiatannya sebulan sekali, tepatnya Minggu keempat, bisa hari Jumat atau hari Rabu," katanya.

Ponpes pernah digeruduk salah satu ormas ada di halaman berikutnya.

Untuk diketahui, pada Februari 2016, Ponpes Al Fatah sempat digeruduk salah satu ormas. Mereka meminta Shinta dan kawan-kawannya bertobat dan kembali menjadi lelaki.

Komunitas waria ini juga dituding hendak menyebarkan ajaran sesat, perkawinan sejenis, hingga menjadi tempat mabuk-mabukan berkedok pesantren.

Namun momen tersebut nyatanya memberikan berkah terselubung bagi mereka. Ustaz Arif dan sejumlah aktivis sosial, Komnas Perempuan, hingga anggota DPR RI membela dan melawan sikap ormas itu.

Hingga kini Pondok Pesantren Waria Al-Fatah Jogja menjadi tempat bernaung puluhan waria. Terutama bagi mereka yang mengalami keterbatasan untuk berupaya dekat dengan Tuhannya di ruang publik.

Ikuti berita lainnya dari detikJateng di Google News.

Halaman 2 dari 3
(dil/ams)


Hide Ads