Nama Marsinah diabadikan sebagai salah satu tokoh perjuangan hak-hak pekerja. Buruh wanita muda ini menjadi perhatian luas, dan kemudian tercatat dalam sejarah Indonesia setelah ia ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993. Kondisi jenazahnya yang sangat mengenaskan dan kematiannya yang dianggap tidak wajar dipertanyakan banyak pihak.
Dikutip dari buku Seri Laporan Kasus, Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah, 10 hari sebelum ditemukan meninggal, Marsinah tampil gigih memperjuangkan nasib 13 rekan kerjanya yang dipecat di kantor Kodim Sidoarjo, usai mengikuti aksi unjuk rasa menuntut perbaikan kondsi kerja di pabrik tempatnya bekerja.
detikJatim merangkum sederet fakta Marsinah, buruh wanita asal Jawa Timur yang menjadi ikon perjuangan para buruh. Berikut ini profil hingga perjalanan Marsinah memperjuangkan hak-hak buruh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Baca juga: 50 Link Download Poster Hari Buruh 2025 |
Profil Marsinah
Melansir profil Marsinah dari tayangan Melawan Lupa, Marsinah lahir di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur pada 10 April 1969. Ia anak kedua dari tiga bersaudara. Namun, ibunya meninggal saat ia berusia 3 tahun.
Ia menempuh pendidikan dasar di SDN Nglundo 2, Kecamatan Sukomoro, lalu melanjutkan pendidikan ke SMPN 5 Nganjuk. Sedangkan, pendidikan menengah atas Marsinah ditempuh di SMA Muhammadiyah 1 Nganjuk. Ia dikenal sebagai siswa mandiri dan cerdas.
Di mata keluarganya, Marsinah adalah pribadi yang kuat dan tegas. Ia mampu mengayomi orang di sekitarnya. Marsinah juga memiliki pendirian yang kuat, terutama jika meyakini apa yang dia pilih hal yang benar. Selepas SMA, Marsinah tidak bisa melanjutkan pendidikan karena terkendala biaya.
Ia kemudian melamar kerja di beberapa tempat sebelum akhirnya bekerja di pabrik arloji, PT Catur Putra Surya (CPS). Meski telah bekerja, Marsinah masih aktif mengikuti berbagai kursus untuk menambah pengetahuan. Ia juga dikenal memiliki minat baca yang tinggi, bahkan tak segan membaca koran bekas.
Marsinah Menjadi Buruh
Saat menjadi buruh inilah, Marsinah semakin memiliki keingintahuan tentang aturan ketenagakerjaan. Banyak rekan kerja Marsinah yang meminta saran darinya terkait berbagai hal. Marsinah juga tidak segan tampil membela teman-temannya yang diperlakukan tidak adil oleh perusahaan.
Marsinah kemudian menjadi pelopor aksi buruh di lingkungan perusahaanya. Ia membela hak-hak para pekerja yang seringkali diabaikan perusahaannya. Marinah terkenal berani berhadapan dengan jajaran pimpinan perusahaan demi membantu kawan-kawannya.
Keberanian ini disaksikan dan dirasakan langsung orang-orang terdekatnya. Tanggal 2 Mei 1993, Marsinah terdokumentasi ikut dalam rapat yang merencanakan aksi buruh berupa pemogokan massal pada 3-4 Mei 1993.
Marsinah Memperjuangkan Hak Buruh
Dikutip dari buku Seri Laporan Kasus, Kekerasan Penyidikan dalam Kasus Marsinah, pada 3 Mei 1993, buruh PT CPS mulai melancarkan pemogokan, meski aksi ini mendapat tekanan dari aparat keamanan. Pada hari kedua pemogokan, para buruh berhasil menggelar perundingan dengan departemen tenaga kerja. Para buruh mengajukan 12 tuntutan perbaikan kondisi kerja, yaitu:
- Kenaikan upah sesuai dengan keputusan Menteri Tebaga Kerja No.30 tahun 1992 dan Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 sehari, yang seharusnya sudah berlaku sejak 1 Maret 1992
- Perhitungan upah lembur seuai dengan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 72 tahun 1984
- Penyesuaian cuti haid dengan upah minimum
- Jaminan Kesehatan buruh sesuai dengan Undang-Undang No 3 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)
- Penyertaan buruh dalam program Asuransi Tenaga Kerja (Astek)
- Pemberian THR (tunjangan hari Raya) sebesar satu bulan
- Kenaikan uang makan dan transportasi
- Pembubaran Unit Kerja SPSI di PT CPS
- Pembayaran cuti hamil
- Penyamaan upah buruh bagi buruh setelah lepas masa training dengan buruh yang sudah bekerja selama setahun
- Hak-hak buruh yang sudah ada tidak boleh dicabut, hanya boleh ditambah
- Setelah pemogokan, pengusaha dilarang mengadakan mutasi, intimidasi, dan melakukan pemecatan terhadap buruh yang melakukan pemogokan
Kesepakatan yang terjalin antara para buruh dan perusahaan dituangkan dalam surat persetujuan bersama. Namun, perjuangan Marsinah dan kawan-kawan ternyata belum selesai. Esok harinya atau 5 Mei 1993, 13 buruh dipanggil Kodim 0816 Sidoarjo dan dipaksa mengundurkan diri dengan alasan sudah tidak dibutuhkan perusahaan.
Meski awalnya menolak, 13 buruh ini mendapatkan intimidasi dan akhirnya menyerah. Mereka menandatangani surat pengunduran diri bersegel, diminta mengisi identitas diri, dan mendapatkan uang pesangon di luar prosedur resmi. Hal ini semakin mengusik rasa solidaritas Marsinah.
Marsinah Ditemukan Meninggal
Masih dari sumber yang sama, usai mengetahui tindakan represif dan PHK di kantor kodim, Marsinah tetap menunjukkan rasa solidaritasnya pada sesama buruh dengan menuliskan petunjuk bagi kawan-kawannya saat menjawab interogasi di kantor kodim.
Ia bahkan berikrar, "Kalau mereka diancam akan dimejahijaukan oleh kodim, saya akan bawa persoalan ini kepada paman saya di Kejaksaan Surabaya,". Pada 5 Mei 1993 ini pula, ia sempat mendatangi pabrik untuk menyampaikan surat protes yang diterima satpam pabrik.
Ia juga menyempatkan berkunjung ke rumah kawan-kawannya untuk menunjukkan solidaritas. Namun, pada malam tanggal 5 Mei 1993, saat ia pergi tanpa ada yang tahu ke mana tujuannya, menjadi momen terakhir Marsinah terlihat oleh teman-temannya.
Tiga hari kemudian, atau 8 Mei 1993, Marsinah ditemukan dalam keadaan sudah meninggal di sebuah gubuk di Desa Wilangan, Kabupaten Nganjuk. Jenazahnya ditemukan dalam keadaaan penuh luka yang menunjukkan bekas penyiksaan.
Investigasi Kasus Marsinah
Awalnya kematian Marsinah dinyatakan sebagai peristiwa kriminal biasa. Namun, kencangnya desakan pengungkapan kasus pembunuhan Marsinah yang disuarakan buruh, LSM, bahkan komunitas internasional, membuat aparat membentuk tim terpadu.
Pada malam 30 Oktober 1993 dan pagi 1 November 1993, delapan orang petinggi dan karyawan CPS ditangkap aparat. Namun, penangkapan ini dinilai tidak sesuai prosedur karena dilakukan secara diam-diam. Salah satu yang ditangkap adalah Direktur PT CPS Judi Susanto.
Ia kemudian ditetapkan sebagai tersangka, bersama seluruh karyawan lainnya. Mereka dianggap telah bersekongkol untuk membunuh Marsinah. Namun, proses penyidikan ini menurut sejumlah kalangan dipenuhi kejanggalan.
Dalam proses persidangan terungkap penyangkalan dari sejumlah saksi dan terdakwa. Mereka mengungkapkan keterangan yang mereka sampaikan dibuat di bawah siksaan dan tekanan. Meski demikian, pengadilan tetap menjatuhkan vonis. Judi Susanto, dihukum 17 tahun penjara.
Namun, titik terang kasus pembunuhan Marsinah masih jauh dari titik terang. Terutama setelah di tingkat kasasi, Mahkamah Agung membebaskan para terpidana dari segala dakwaan. Hal ini menimbulkan pertanyaan, siapa yang sebenarnya membunuh Marsinah.
(ihc/irb)