Beberapa waktu lalu publik dihebohkan dengan penuturan kisah seorang mahasiswi yang berjuang membayar uang kuliah tunggal (UKT) di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Mahasiswi itu telah meninggal dunia tahun lalu. Kini, muncul lagi pengakuan mahasiswa UNY lainnya yang kesulitan membayar UKT.
Sejumlah mahasiswa UNY mengaku terpaksa jual motor, sapi, utang tetangga, bank, hingga cuti bahkan ada yang berhenti kuliah gegara UKT. Berikut pengakuan mereka.
Salah satunya adalah mahasiswa inisial U. Ia setiap semester harus membayar UKT sebesar Rp 4,2 juta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ayah U saban hari berjualan angkringan dan ibunya buruh pabrik. Penghasilan kedua orang tuanya turun drastis karena pandemi COVID-19. Angkringan sepi dan ibunya dirumahkan.
"Saya dulu saat masuk ada pandemi pendapatan ortu cukup terpotong cukup banyak, penghasilan angkringan nggak bisa memenuhi makan keluarga," kata U dalam acara 'Ada apa dengan UNY?: Kesaksian Korban UKT di UNY' yang digelar kelompok UNY Bergerak, disiarkan dalam YouTube Media Philosopis seperti dilihat detikJateng, Selasa (17/1/2023).
"Saya dapat UKT Rp 4,2 juta yang menurut saya cukup tinggi melihat kondisi ekonomi keluarga. Saya mulai berpikir, berimajinasi pendidikan ini nggak semurah yang saya bayangkan bahkan ibu bapak sempat bercerita secara intim, berdua, tanpa saya ketahui memikirkan apakah besok bisa membayar UKT semester depan," sambungnya.
Jual Sapi-Utang Bank
U kemudian mencoba membantu ekonomi keluarga dengan bekerja sampingan menjadi buruh di sebuah perkebunan. Tapi itu belum cukup.
Keluarganya kemudian musti merelakan untuk menjual ternak sapi yang notabene merupakan tabungan keluarga.
"Ketika saya di semester dua atau tiga ketika pandemi, ibu dan bapak menjual sapi sebagai tabungan kehidupan untuk membiayai kuliah, itu padahal untuk tabungan adik untuk bayar sekolah SD," kenangnya.
Tak sampai di situ, biaya UKT yang mencekik kemudian mengharuskan keluarganya berutang.
"Bapak ibu jual sapi sebagai alasan biaya kuliah, biaya kuliah saya dibiayai utang di bank," ujarnya.
Terpaksa Berhenti Kuliah
Sementara itu, mahasiswa UNY lainnya, inisial N justru harus mengubur mimpinya berkuliah di UNY. Orang tuanya bangkrut dan tak bisa membayar biaya UKT per semester sebesar Rp 3,6 juta. Ditambah biaya kos dan kebutuhan sehari-hari.
"Saya ngajuin beasiswa tidak dapat," kata N, dalam acara yang sama.
Dia sempat mengajukan penurunan UKT ke pihak kampus. Sayangnya, kampus tidak mengabulkan permohonan itu. N pada akhirnya terpaksa berhenti kuliah dan kembali ke daerah asal.
"Kenapa dari birokrasi nggak meng-ACC penurunan UKT saya, sampai ortu memutuskan udah nggak usah kuliah aja. Birokrasi seakan tutup telinga dengan kondisi mahasiswa," ucapnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Utang Tetangga-Jual Motor
Y juga jadi salah satu mahasiswa korban tidak sesuainya UKT di UNY. Mahasiswi angkatan 2021 itu sudah mengisi dokumen sesuai dengan keadaan ekonomi keluarga.
Tapi, dia kaget saat pengumuman dapat UKT yang tinggi.
"Saya daftar di UNY saya lengkapi surat yang diminta UNY, kondisi rumah, gaji, dan lain-lain sudah sesuai kondisi sebenarnya. Saya dinyatakan lolos, saya senang tapi juga sedih karena dapat UKT golongan 4 Rp 3,6 juta sekian. Padahal saat itu kondisi keluargaku tidak baik-baik saja," ucap Y, dalam kesempatan yang sama.
UKT yang tinggi ditambah kondisi keuangan keluarga yang terpuruk akibat pandemi juga membuat Y hampir patah arang. Tempat kerja ayahnya gulung tikar dan tak dapat pesangon.
Untuk membayar pendaftaran kuliah dia harus berutang ke tetangga. Motor pun dijual untuk menutup utang itu.
"Hidup dengan uang pinjaman tetangga. Untuk nutup bapak jual motor. Uang itu buat bayar utang," tuturnya.
Y sempat dapat beasiswa. Tapi di semester 3 beasiswa itu dicabut karena ada peraturan baru. Dia terpaksa mengambil cuti kuliah.
"Mengisi waktu cuti saya kerja di salah satu rumah makan di Jogja. Ini saya bingung mau lanjut atau tidak. Surat pengajuan angsuran UKT juga belum disetujui," katanya.
Survei UNY Bergerak
Sementara itu Tim Humas UNY Bergerak, Opal, menyebut dari data survei yang dilakukan dari seribuan mahasiswa, sebanyak 97 persen mengalami ketidaksesuaian UKT.
"Survei yang dibuat oleh teman-teman LPSM UNY Bergerak, kan ada 97 persen dari 1.000-an mahasiswa itu yang keberatan membayar UKT," kata Opal.
Ia bersama mahasiswa lain menuntut agar ada penyesuaian UKT tiap semester. Mengingat kondisi ekonomi saat ini masih belum stabil.
"Tuntutan kami salah satunya adalah penyesuaian UKT di tiap semester. Pertimbangannya karena selama ini kan baru transisi pandemi ke endemi kan dan sedangkan kondisi ekonomi orang tua mahasiswa itu belum menentu dan apalagi di tahun 2023 ada kemungkinan resesi itu yang kami pertimbangkan," ucapnya.
Sepengetahuannya, ada beberapa skema penurunan UKT. Dalam persyaratannya, tertulis UKT bisa turun dengan catatan orang tua mahasiswa meninggal dunia.
"Dalam satu skema UKT yang disampaikan satu kawan, salah satu penurunan UKT satu golongan itu orang tuanya harus meninggal dalam skema itu. Dan Sumaryanto kekeh itu bakal diturunin tapi nyatanya kawan dari korban tadi yang orang tuanya sudah meninggal sampai hari ini pun penurunan UKT-nya masih susah," ungkapnya.
Penurunan UKT pun hanya bisa didapatkan untuk satu golongan. Ini yang kemudian ditentang oleh para mahasiswa.
"Harapannya nggak cuma satu golongan yang turun. Benar-benar turun seusai kondisi mahasiswa. Kalau memang harus turun satu juta dua juta ya kasihlah," ujarnya.
Tentang UNY Bergerak, di halaman selanjutnya.
Tentang UNY Bergerak
Sementara itu, tim UNY Bergerak lainnya, Mushab Aulia, mengatakan UNY Bergerak merupakan gerakan kolektif mahasiswa UNY. Mereka bergerak untuk mengawal isu-isu mahasiswa UNY termasuk dalam hal UKT.
"UNY Bergerak merupakan aliansi dari banyak mahasiswa UNY dan organisasi mahasiswa di UNY. Kita sebenarnya bukan satu organisasi resmi tapi merupakan kolektif, organisasi komunitas yang mengawal banyak isu-isu kampus termasuk salah satunya uang kuliah dan masalah kampus yang lain," kata Mushab kepada wartawan hari ini.
Menurut Mushab, di UNY Bergerak tidak ada struktur organisasi. Namun di dalamnya ada beberapa divisi.
"Kita nggak punya struktur ketua, tapi ada beberapa divisi di dalamnya termasuk tim kajian, humas, dan media," ujarnya.
Kasus Mahasiswi UNY Tak Bisa Bayar UKT Meninggal
Mushab melanjutkan, UNY Bergerak juga membantu mahasiswa dalam mengurus UKT. Termasuk dalam kasus mahasiswi yang kini telah meninggal, inisial R.
"Teman saya ikut mendampingi, termasuk dari BEM juga," katanya.
Mushab mengatakan mayoritas mahasiswa mendapatkan penurunan UKT hanya satu tingkat. Termasuk R awalnya mendapatkan UKT Rp 3,14 juta turun sekitar Rp 600 ribu.
"Dulu ada skema pemotongan UKT, karena kondisi pandemi COVID-19 sekarang sudah berubah, yang ada hanya apabila mau menurunkan UKT ya tinggal karena orang tua meninggal atau bangkrut sisanya kalau mau menurunkan ya semester akhir atau kalau mau yudisium atau akan tugas akhir," katanya.
Pihaknya ingin ada perbaikan dari kampus dalam hal rumusan dan indikator penentuan UKT. Dia tak ingin ada R-R lain yang harus sampai putus studi.
"Bahwasanya almarhum R itu nggak cuma sendiri, ini bukan cuman masalah satu orang," tegasnya.
(rih/apl)