Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Bantul menyebut tahun ini hingga bulan November tercatat ada 1.216 kasus Tuberkulosis (TBC). Dari jumlah tersebut 50% kasus terjadi pada anak-anak.
"Di Kabupaten Bantul, pada bulan Januari sampai November 2022 tercatat ada 1.216 kasus TBC yang ditemukan di seluruh fasilitas kesehatan. 619 di antaranya adalah kasus TBC anak dan 12 kasus pasien TBC resisten obat," kata Kepala Dinkes Bantul Agus Budi Raharja kepada wartawan di Kapanewon Sewon, Bantul, Rabu (21/12/2022).
Risiko Anak Tertular
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agus menyebut ada beberapa faktor anak-anak terjangkit TBC. Salah satunya masih banyak orang dengan TBC yang masih belum ditemukan dan diobati, di mana estimasi kasus di Bantul seharusnya 2.431 namun baru terdeteksi 1.216.
"Jadi anak memang ada risiko penularan, contoh anak umur 2 tahun kan sering digendong atau diciumi orang-orang. Hal itu risiko kontak semakin tinggi," jelasnya.
"Apalagi kerawanan akibat kurang gizi karena kondisinya, angka stunting juga masih ada terus. Jadi ada potensi-potensi di dalam anak itu sendiri, sehingga daya tahan anak kurang," imbuh Agus.
![]() |
Kendati demikian, Agus mengungkapkan jika TBC anak tidak menular. Ciri-ciri TBC seperti batuk lebih dari dua pekan disertai demam dan mengalami penurunan berat badan.
"TBC anak tidak menularkan tapi anak berpotensi tertular TBC tinggi," ujarnya.
Agus mengaku Dinkes bersama pihak terkait menggencarkan screening TBC. Selain itu menguatkan jaringan di lapangan untuk bisa menyosialisasikan gejala TBC ke masyarakat.
"Kalau upaya-upaya intinya kita lakukan terapi, pencegahan terkait TBC. Jadi kalau ada ditemukan keluarganya kena TBC harus segera diambil tindakan. Karena itu kita perkuat jejaring untuk bisa mendeteksinya," jelasnya.
Selengkapnya di halaman selanjutnya.
Selain kasus TBC yang 50% menjangkiti anak-anak, Agus mengungkapkan angka pasien yang putus berobat TBC di Kabupaten Bantul juga cukup tinggi yaitu 3,93% dari jumlah pasien yang diobati tahun 2021. Pasien yang tidak menjalani pengobatan sampai tuntas dikhawatirkan akan membuat pasien terkena TBC resisten obat.
"TBC itu harus diobati rutin selama 6 bulan. Faktornya banyak yang putus berobat mungkin ada yang lupa, kedua tentu pemahaman terkait pengobatan TB itu sendiri," katanya.
"Makanya TBC itu kalau sudah ketemu harus ada namanya pendamping minum obat (PMO). Karena potensi lupa tinggi sekali. Belum lagi efek mengonsumsi obat, ini yang kemudian penanggulangan TBC harus komprehensif," lanjut Agus.
Tracing Digencarkan
Sementara itu, Kepala Sub Sub Recipient (SSR) Sinergi Sehat Indonesia Kabupaten Bantul, Nurkolis Majid mengaku beberapa upaya telah dilakukan untuk menekan angka penularan penyakit TBC di Bantul. Salah satunya adalah memberikan Terapi Pencegahan TBC (TPT) bagi kontak erat pasien TBC, menguatkan jejaring internal dan eksternal fasilitas kesehatan, serta kolaborasi multi sector melalui pendekatan District based Public Private Mix (DPPM).
"Melalui pendekatan DPPM, Dinas Kesehatan Bantul, fasilitas kesehatan, dan Komunitas saling berkolaborasi untuk meningkatkan angka penemuan kasus TBC serta memastikan pasien mendapatkan pengobatan sesuai standar dan berpusat pada pasien," jelasnya.
Selain itu, pihaknya juga melakukan penemuan kasus TBC melalui kegiatan investigasi kontak (tracing), sosialisasi TBC ke masyarakat, mendorong pemberian TPT pada kontak erat pasien TBC, pelacakan dan edukasi pasien TBC putus berobat, serta pendampingan pasien TBC.
"Melalui 97 kader yang tersebar di berbagai fasilitas kesehatan kami siap untuk bekerja sama menemukan kasus baru, pengobatan, hingga pendampingan. Harapannya dengan adanya upaya kolaborasi tersebut dapat meningkatkan penanggulangan TBC di Kabupaten Bantul," imbuhnya.